BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi
memang bukan hal baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih
menunjukkan kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu
penyakit (bureau patology), seperti Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian
(peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol
masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity), ketimbang citra yang baik
atau rasional (bureau rationality), seperti yang dikandung misalnya, dalam
birokrasi Hegelian dan Weberian.
Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang
sering muncul ke permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan
pejabat publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya
pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit atau yang lebih
dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi empirik yang
terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep birokrasi Hegelian dan
Weberian yang memfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan unsur-unsur dalam
proses pemerintahan. Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai
pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan
yang sangat besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat.
Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa
mendorong masyarakat untuk mencari ''jalan pintas'' dengan suap atau berkolusi
dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan
yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para
pejabat untuk mencari ''kesempatan'' dalam ''kesempitan'' agar mereka dapat
menciptakan rente dari pelayanan berikutnya.
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam
birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok.
Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang
menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk
patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan
nepotisme.
Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas
pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu
pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan.
Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan
''penggemukan'' pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Keempat,
manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif,
seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif.
Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi
pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan
kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan
sistem pilih kasih.
Atas dasar tersebut diatas maka kami membuat makalah yang
berjudul patologi biroksari karena perilaku aparatur ini.
1.2
Identifikasi Masalah
Dalam
makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1.
Apa
definisi dari patologi birokrasi ?
2.
Apa
saja jenis patologi birokrasi yang ditimbulkan oleh prilaku aparat ?
3.
sejauh mana patologi birokrasi telah terjadi di
Indonesia dan apa saja akibat yang ditimbulkannya ?
4.
Apa
solusi konkrit untuk menghapus patologi birokrasi di Indonesia ?
1.3Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah
ini adalah :
1. mendefinisikan
secara jelas mengenai patologi birokrasi
2. mendeskripsikan
jenis-jenis patologi birokrasi karena prilaku aparat
3. untuk
mengetahui sejauh mana patologi birokrasi telah terjadi di Indonesia dan apa
saja akibat yang ditimbulkannya
4. untuk
mencoba menganalisis dan memberikan solusi terhadap birokrasi yang terjadi di
Indonesia
5. untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Birokrasi pemerintahan Indonesia
1.3Metode
Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini, penulis
menggunakan metode mengumpulkan informasi dari artikel, buku-buku, dan internet
serta penulis melakukan analisis terhadap informasi tersebut.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian Patologi Birokrasi
Menurut Taliziduhu
Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl) Patologi
birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan
pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan
tugas, dan menjalankan program pembangunan.
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari
perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari
patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih
berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan
prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas
hak-hak dari otoritas dan status.
2.2 Gejala patologi dalam birokrasi
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam
birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok.
Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang
menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk
patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan
nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana
berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan
yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat
yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan
sebagainya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional
atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif.
Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat
negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang
memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
2.3 Jenis-jenis patologi birokrasi
1.
Penanganan berlarut
2.
Penyimpangan prosedur
3.
Penyalahgunaan wewenang
4.
Praktek KKN/imbalan
5.
Melalaikan kewajiban
6.
Pemalsuan
7.
Nyata-nyata berpihak/Politis
8.
Penggelapan barang bukti
9.
Bertindak tidak layak
10.
Intervensi
11.
Inkompetensi
2.4 Faktor penyebab patologi birokrasi
Menurut JW Schoorl (1984):
1. Kekurangan Administrator yang cakap
2. Besarnya jumlah aparat birokrasi
3. Luasnya tugas pemerintahan
4. Anasir tradisional (nepotisme, patrimonial,
hirarkis)
5. Sentralisasi dan besarnya kekuasaan birokrasi.
Menurut Miftah Thoha
(2003), Peter M. Blau dan Marshal W Meyer (2000), Taliziduhu Ndraha (2003):
1. Lemahnya faktor moral
2. Gaji rendah
3. Sistem rekrutmen dan promosi tidak baik
4. Aturan dan mekanisme kerja belum jelas
5. Birokrasi berpotensi politis
6. Lemahnya pengawasan
2.5 Implikasi patologi birokrasi
•
Merugikan birokrasi sendiri (krisis kepercayaan, delegitimasi sosial, dll),
masyarakat, stakeholder, bangsa dan negara.
•
Menghambat tercapainya kemajuan, modernisasi, dan kesejahteraan.
•
Memicu kerawanan sosial dan perubahan sistem secara evolusi dan revolusi.
2.6 Melacak Gejala Patologi dalam
Birokrasi
Aparat birokrasi tidak dibenarkan melakukan partikularisme
(korupsi, kolusi, nepotisme maupun primordialisme) dalam administrasi
kepegawaian ataupun dalam menjalankan fungsinya sebagai public servant.
Perekrutan pegawai yang sebelumnya didasarkan pada patronage system, spoil
system dan nepotisme, sebaiknya segera diubah dengan merit system atau carier
system, sehingga terjamin peningkatan mutu, kreativitas, inisiatif dan
efisiensi dalam birokrasi. Kontrak-kontrak kerja yang dibuat, apa pun jenisnya,
harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel.
Kita seperti dihadapkan pada persoalan besar, mengapa masalah
KKN sebagai manifestasi empiris gejala patologi (penyakit) birokrasi kian
merebak. Padahal, dalam Sidang Tahunan 2002 lalu, MPR juga telah memberikan
perhatian khusus terhadap masalah ini. MPR telah memberikan rekomendasi kepada
Presiden Megawati Soekarnoputri agar membangun kultur birokrasi yang
transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab. Serta dapat menjadi
pelayan masyarakat, abdi negara, dan teladan masyarakat.
2.7 Korupsi, Sebuah Patologi Birokrasi
Akhir-akhir ini, kasus dugaan korupsi yang melibatkan
pejabat KPK yang berdampak pada perseteruan antara KPK dengan pihak kepolisian,
semakin ramai. Publik bahkan mengilustrasikan kasus ini sebagai Cecak versus
Buaya. Karena itu pula, logis apabila dibentuk tim Pencari Fakta yang sifatnya
independen untuk meneliti kontroversi seputar kasus tersebut.
Tampaknya, upaya pemberantasan korupsi masih memerlukan
nafas yang amat panjang. Soalnya, penyakit birokrasi yang satu ini sudah
sedemikian jauh menerobos masuk dan menggerogoti tubuh negara.
Bahkan terkesan telah mendarah daging dalam masyarakat kita.
Ini dapat dilihat dari banyaknya kasus korupsi yang berdampak luas terhadap
pembangunan dan terjadi di semua sektor kehidupan masyarakat.
Dalam konteks pembangunan, salah satu indikator yang cukup
baik untuk melihat adanya praktik korupsi akan tercermin pada tingkat kebocoran
anggaran pembangunan setiap tahunnya.
Korupsi sendiri dapat diartikan sebagai penyalahgunaan
wewenang dengan tujuan untuk memperkaya diri, keluarga, kerabat dan golongan
tertentu. Karena itu, masalah korupsi lebih berbahaya dari kemiskinan.
Korupsi memang masih menjadi hantu di tengah kehidupan kita.
Apalagi, perilaku korup itu dapat berbentuk transaksi politik dengan cara
menjual kebijakan negara untuk kepentingan pribadi, kerabat serta kelompok
tertentu.
Di samping itu, korupsi dapat menghalangi terciptanya
tatanan pemerintahan yang baik sebab tiga komponen yang dapat mendukung
terwujudnya good governance seperti negara, rakyat dan sektor swasta dapat
berjalan timpang.
Untuk itu, agar supaya korupsi dapat dideteksi seawal
mungkin dan jangan sampai berlarut-larut, maka kesetaraan dari tiga komponen
good governance mutlak diperlukan. Artinya, mekanisme pemerintahan berada dalam
posisi yang seimbang, selaras, kohesif dan kongruen.
Tentu saja, terciptanya keseimbangan dari ketiga komponen
itu amat tergantung pada adanya kemauan baik untuk selalu berpegang pada
ditegakkannya supremasi hukum secara konsekuen.
Oleh sebab itu, aparat negara haruslah memiliki kemampuan
profesional untuk bukan saja mempertahankan dan memacu pembangunan ekonomi
serta menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan teknologi, tapi juga
sekaligus harus mampu mendistribusikan output pembangunan secara adil dan
merata serta mengentaskan keluarga miskin melalui strategi empowerment.
Hanya saja, yang seringkali menjadi masalah adalah kualitas
profesional apa yang diperlukan oleh aparat negara dalam melaksanakan fungsinya
yang amat kompleks. Lagi pula, birokrasi begitu potensial sebagai tempat
berkembang biaknya praktik korupsi karena sumber kekuasaan yang dimilikinya.
Biasanya, di negara berkembang, birokrasi acapkali dianggap
sebagai personifikasi negara yang memiliki hak monopoli informasi dan cenderung
ditempatkan dalam status sosial yang tinggi serta memiliki keahlian teknis
untuk bekerja dalam masing-masing sektor yang digelutinya. Akibatnya, tindakan
korupsi kerapkali terlindungi oleh jaket birokrasi sekalipun semua bentuk
korupsi nyaris selalu dilakukan secara rahasia.
Korupsi birokrasi memang lebih terjamin kerahasiannya sebab
dibungkus oleh mekanisme kerja yang seolah-olah sah. Selain itu, korupsi birokrasi
juga melibatkan penentu kebijakan publik sebagai aktor transaksi dan hak milik
publik dianggap sebagai komoditas yang dapat dipertukarkan. Lagi pula, atribut
utama birokrasi terletak pada loyalitas dan kemampuan melaksanakan apa yang
diperintahkan atasan.
Sementara itu, budaya patrionalisme dan patron-client
menguasai hubungan antara birokrat maupun hubungan antara birokrat dengan
komponen lain. Interaksi antara birokrasi dengan kekuatan ekonomi dapat
mengubah substansi birokrasi menjadi komprador yang berkolusi dengan kekuatan
ekonomi tadi untuk memperkaya diri.
Meski begitu, salah satu kualitas sumberdaya birokrasi yang
dituntut oleh good governance adalah kualitas enterpreneurial yang dapat
menjembatani negara dan masyarakat. Adapun kompetensi birokrasi lain yang
dituntut oleh good governance adalah kemampuannya mewadahi antara the state dan
civil society.
Hal ini tersirat baik dalam konsep good governance yang
dianggap merupakan cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan
publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan dan administrasinya
bertanggung jawab pada publik. Masalahnya, birokrasi haruslah mampu memberikan
pelayanan publik dengan adil dan inklusif.
Dengan demikian tentu hal ini menuntut kemampuan untuk
memahami dan mengartikulasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat serta
merumuskannya dalam kebijakan, perencanaan dan mengimplementasikannya.
Birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk memberdayakan
masyarakat sipil dengan menciptakan enabling social setting. Pola perilaku
birokrat terbentuk antara lain melalui keteladanan. Oleh karena itu, sikap
elite amat menentukan sosok profesionalisme birokrasi.
Proses rekrutmen yang objektif, kondisi kerja yang kondusif
dan pelatihan yang menggunakan metodik dan deduktif yang tepat merupakan wacana
pembentukan profesionalisme yang efektif. Dalam pembentukan profesionalisme
tentu memerlukan kontrol sosial dari masyarakat sipil.
Jika tidak, lemahnya tanggung jawab birokrasi untuk melayani
rakyat jelas berdampak pada kepentingan rakyat. Konsekuensinya, misi menuju
sebuah pemerintahan hanya akan menambah kompleksitas persoalan dan bukannya
memecahkannya.
Oleh sebab itu, dalam pelayanan publik sudah saatnya bagi
pemerintah untuk mengubah paradigma, strategi dan orientasi yang selama ini
hanya digerakkan oleh peraturan birokrasi menjadi strategi yang berfokus pada
pelayanan publik. Dan upaya itu pasti memerlukan transformasi lembaga dan
sebaiknya harus dimulai dengan transformasi personal.
Ini berarti yang dibutuhkan dalam transformasi adalah
penyusunan tujuan sistem layanan sebagai faktor pendorong perubahan. Sedangkan
masalah moralitas memang abstrak jika dimaknai hanya sekadar sebagai etika
efisiensi dan efektivitas layaknya yang ada di sektor privat.
Namun sesungguhnya moralitas merupakan dasar yang sangat
konkret jika pemahamannya kita arahkan pada sebuah konsep birokrasi yang
manusiawi, yaitu tipe birokrasi yang menghargai hak rakyat secara penuh.
Untuk mentransformasikan nilai-nilai moral tentu bukan
sekadar membalikkan tangan tapi butuh sebuah proses dan kesungguhan. Birokrasi
yang bermoral, berarti birokrasi yang meletakkan aspek pelayanan pada rakyat
tanpa berusaha mengeksploitasinya ke dalam aspek yang amat urgen.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Patologi birokrasi
dikaitkan dengan keprilakuan
Di
Negara dan pemerintahan manapun, para anggota birokrasi disebut sebagai abdi
Negara dan abdi masyarakat. Dengan predikat demukian, mereka diharapkan dan
dituntut menampilkan perilaku yang sesuai dengan peranannya selaku abdi
tersebut. Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan
kepada seluruh masyarakat. Karena penerapan prinsip fungsionalisasi,
spesialisasi dan pembagian tugas, sudah barang tentu terdapat bagian masyarakat
yang menjadi “clientele” suatu instansi tertentu. Sebagai prinsip dapat
dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh birokrasi kepada para
klientelenya harus bersifat adil, cepat, ramah dan tanpa diskriminasi. Karena
itu, ungkapan yang mengatakan bahwa para pegawai negeri adalah untuk melayani
dan bukan untuk dilayani, hendaknya terwujud dalam praktik administrasi Negara
sehari-hari, sebab apabila tidak ada, ungkapan tersebut hanya akan menjadi
slogan tanpa makna.
Dengan
kata lain, teramat parting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi
menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan peranannya selaku abdi negara dan
abdi masyarakat.
Dari
segi inilah, parting dipaltami patologi birokrasi yang ber-sumber dari
keperilakuan. Pemahaman perilaku dalam
kaitannya dengan patologi birokrasi, mutlak perlu disoroti dari sudut pandang
etos kerja dan kultur organisasi yang berlaku dalam suatu birokrasi tertentu.
Telah dimaklumi bahwa kultur organisasi suatu birokrasi tak bisa dilepaskan
dari kultur sosial di masyarakat luas. Kultur organisasi parting dipahami
karena berperan, antara lain sebagai alat pengendali perilaku para anggota
birokrasi pemerintahan. Dikatakan demikian, karena organisasi turut menentuk;m
apa yang baik dan tidak baik, yang boleh dan dilarang, hal-hal yang dipandang
wajar dan yang tidak wajar. Agar diakui dan diterima sebagai anggota birokrasi
yang baik, perilaku yang dituntut daripadanya adalah yang sesuai dengan kultur
yang dianut oleh organisasi yang bersangkutan.
Berikut
ini, diidentifikasikan dan dibahas berbagai perilaku negatatif atau
disfungsional yang harus dicegah, agar jangan sampai ditampilkan oleh para
anggota birokrasi yang bersangkutan.
1. Bertindak sewenang-wenang;
Bersumber
dari peranan pemerintah dalam tata kehidupan ber-negara, banyak pejabat dan
pegawai pemerintahan negara yang karena kedudukan dan jabatannya memiliki
wewenang tertentu yang tidak dimiliki oleh warga negara yang lain. Wewenang
tersebut bersumber dari berbagai peraturan perundang-undangan dan melekat pada
jab?t-an seseorang, bukan pada dirinya sebagai individu.
Contoh-contoh
sangat sederhana dari wewenang yang dimiliki pejabat atau pegawai pemerintahan,
adalah:
1. Wewenang
para petugas bea cukai memeriksa penumpang dan barang di pelabuhan laut atau
bandar udara dalam upaya men-cegah masuknya barang-barang terlarang ke dalam
wilayah kekuasaan negara yang bersangkutan atau agar pemilik barang membayar
bea impor kalau peraturan perundang-undangan menetapkan demikian.
2. polisi
lalu lintas memiliki wewenang menilang pengemudi yang melanggar peraturan lalu
lintas.
3. aparat
suatu instansi yang mengatur perdagangan berwenang mengeluarkan izin usaha.
4. aparat yang menangani rnasalah-masalah
lingkungan hidup berwenang menindak perusahaan yang melanggar ketentuan tentang
batas ambang poiusi udara atau iiinbah industri.
5. aparat
pajak berwenang mengusut wajib pajak yang diduga tidak membayar pajaknya secara
benar.
Perilaku
yang tidak diharapkan dari para anggota birokrasi adalah penggunaan wewenang
yang dirnilikmya itu dengan semena-mena, misalnya dengan bertindak melampaui
batas wewenangnya, apalagi menyalahgunakan wewenang tersebut. Sikap "sok
berkuasa" jelas bukan sikap dan perilaku yang ditampilkan, apalagi kalau
sikap dan perilaku tersebut dimaksudkan untuk kepentingan diri sendiri dengan
merugikan orang lain.
2. Pttfa-imra
Para
anggota masyarakat yang membutuhkan pelayanan aparatur pemerintah mengharapkan
pemberian pelayanan yang cepat, cennat sekaligus ramah. Dari segi kecepatan
misalnya, perlu kejelasan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar pelayanan yang
diperlukan itu terselesaikan secara tuntas. Dengan kejelasan demikian, warga
masyarakat dapat memperkirakan kapan interaksinya dengan aparat yang
bersangkutan akan berakhir. Sudah barang tentu, faktor kecepatan bukanlah
variabelyangberdiri sendiri. Kecepatan berkaitan dengan kecermatan kedua belah
pihak. Artinya, pihak aparatur tidak akan dapat memberikan pelayanan yang cepat
apabila pemohon pelayanan tidak atau kurang cermat dalam memenuhi berbagai
persyaratan yang telah ditentukan. Misalnya, tidak lengkapnya doku-men
pendukung permohonan yang dimaksud.
Yang
menjadi masalah ialah, apabila pejabat atau pegawai angkareaa jabatannya harus memberikan
pelayanan tersebut, dengan sengaja menunda-nunda penyelesaian tugasnya,
misalnya dengan dalih niasih sibuk menyelesaikan tugas yang lain, apalagi kalau
kesengajaan itu diiatarbeiakangi oleh motif atau keinginan memperoleh
"imbalan" tertentu yang sesungguhnya bukan haknya.
Keadaan
seperti itu paling sering terlihat dalam hal seseorang mengajukan permohonan
memperoleb izin sebagai dasar baginya melakukan kegiatan tertentu yang apabila
berhasil akan mendatang-kan keuntungan materiil bagj yang bersangkutan.
3. Paksaan
Perilaku
ini biasanya terlihat pada upaya menekan pihak lain sedemikian rupa, sehingga
keinginan yang bersangkutan terpenuhi. Tergantung pada bentuk dan intensity
keinginan tersebut, caranya bisa eksplisit dan "kasar" tetapi dapat
pula implisit dan "halus". Cara yang eksplisit dan kasar digunakan
apabila pihak yang dipaksa nyata-nyata melakukan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan tertentu yang seandainya lolos akan mendatangkan keuntungan
finansial yang besar baginya, misalnya seorang warga masyarakat yang melakukan
penyelundupan. Sebaliknya, paksaan dilakukan secara implisit dan halus
apabilapejabat ataupegawai yang ingin memperoleh sesuatu menilai bahwa dengan
paksaan itulah keinginannya akan terpenuhi.
Dalam
pada itu, perlu pula ditekankan bahwa sikap memaksa tidak hanya dapat terjadi
dalam interaksi ekstemal seorang pejabat atau pegawai dengan warga masyarakat.
Interaksi internal pun dapat diwamai oleh paksaan. Misalnya, tidak mustahil ada
pejabat pimpinan yang memaksakan keinginannya pada para bawahannya, meskipun
keinginan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Misalnya, dengan cara tertentu memaksa bawahan sebagainya.
4.
Konspirasi
Yang
dimaksud denean konspirasi adalah persekongkolan antara sekelompok orang untuk
maksud memberikan sesuatu kepada atasannya agar atasan tersebut menyetuj ui
permohonan pegawai bawahan yang bersangkutan, seperti kenaikan gaji berkala,
kenaikan pangkat, dan Jersekongkolan dimaksud ospat hanya melibatkan
"orang-orang dalam", tetapi dapat pula melibatkan pihak-pihak
tertentu di luar birokrasi. Alasannya pun dapat beraneka ragara, akan tetapi
biasanya adalah agar pihak-pihak yang terlibat memperole'i keuntungan, atau
paling sedikit agar kepentingan mereka tidak dirugikan.
Misalnya,
konspirasi yang melibatkan sekelompok orang dalarn oirokrasi yacg berupaya
untuk mencegah agar sesuatu keputusan tertentu tidak terlaksana, padahal
pelaksanaan keputusan tersebut adalah demi kepentingan orang banyak atau
kepentingan umum. Contoh nyata adalah konspirasi menentang reorganisasi
instansi tertentu. Karena berbagai alasan yang sesungguhnya rasional, seperti
peningkatan efisiensi kerja, bisa saja diambil keputusan untuk melakukan
reorganisasi. Akan tetapi, karena adanya pihak-pihak yang memperkirakan bahwa
kepentingannya akan dirugikan, seperti akan kehilangan kedudukan atau jabatan,
berbagai upaya dibuat untuk mencegah agar reorganisasi jangan sampai terwujud.
Bukan
hal yang mustahil bahwa konspirasi melibatkan orang-orang dari dalam birokrasi
dan pihak-pihak tertentu di luar jajaran birokrasi yang bersangkutan.
Dinegara-negara yang menganutpaham demokrasi liberal, misalnya, mungkin saja
terjadi bahwa pada waktu suatu partai politik berkuasa, pimpinan partai
menempatkan orang-orangnya dalam birokrasi pemerintahan, yang kemudian, pada
waktu mereka menjadi oposisi, dimanfaatkan untuk menentang berbagai
kebijaksanaan pemerintahan yang didominasi oleh partai politik lain yang menjadi
saingannya. Dalam situasi demikian, para pejabat dan pegawai tersebut menjadi
bagian dari kelompok penekan (pressure
group) dan tidak lagi bersifat netral. Konspirasi serupa juga sering
terjadi di negara- negara yang dikelola secara otoriter atau di suatu negara
yang hanya memiliki satu partai politik, seperti halnya di negara-negara yang
menganut paham komunisme. Para pejabat dan pegawai pendukung pimpian negara
atau pemerintahan yang otoriter atau diktatorial itu atau pendukung partai
tunggal yang berkuasa biasanya membentuk konspirasi yang dimaksudkan untuk
menghalangi tindakan para pembaru yang sebenarnya hanya ingin menciptakan
suasana yang demokratis dalam penyelenggaraan roda pemerintahan negara.
5. Siapa Takut
Rasa takut dapat berkembang di kalangan
para pegawai negeri terutama pada tingkat pelaksana apabila gaya penyeliaan dan
manajerial yang digunakan oleh para pejabat pimpinan buka gaya yang demokratik.
Padahal, teori keperilakuan menekankan bahwa gaya demokratiklah yang paling
tepat digunakan, karena berangkat dari dan bermuara pada pengakuan dan
penghargaan atas harkat dan martabat para bawahan sebagai manusia.
Dengan perkataan lain, sikap takut
dapat terlihat pada cara-cara bertindak yang ekstra hati-hati, antara lain
kerena pegawai penerima tugas atau perintah dari atasannya berupaya keras agar
tidak berbuat kesalahan. Salah satu alasan utamanya ialah bahwa kalau yang
bersangkutan berbuat kesalahan, bukan koreksi dan bimbingan yang bersifat
mendidik yang diperoleh dari atasan, melainkan teguran atau ancaman tindakan
punitif.
Dengan mengatakan demikian tentu
tidak berarti bahwa seorang pejabat pimpinan tidak boleh mengenakan sanksi
terhadap para bawahannya. Bagaimanapun, para bawahan tidak boleh dibiarkan
berbuat kesalahan, apalagi kalau berulang kali terjadi dan kesalahan yang
diperbuat pun adalah kesalahan yang sama. Akan tetapi merupakan kewajiban para
pejabat pimpinan untuk memberikan bimbingan dan petunjuk tentang cara kerja
yang benar.
Jelaslah, bahwa agar para bawahan tidak selalu dibayang-bayangi
rasa takut, suasana kerja yang demokratis mutlak perlu ditumbuhsuburkan. Dengan
demikian para bawahan akan lebih berani mengambil resiko dengan ketentuan bahwa
pengambilan resiko itu telah diperhitungkan dengan matang, termasuk resiko berbuat
kesalahan. Yang penting ialah, agar kesalahan yang dibuat bukan karena itikad
yang tidak baik dan bukan pula kesalahan yang disengaja.
6. Penurunan Mutu
Dapat dipastikan bahwa pemerintah
mana pun mengharapkan agar dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, para
anggota birokrasi berupaya semaksimal mungkin untuk menghasilkan mutu “produk”
kerjanya setinggi mungkin.
Akan tetapi, tidak dapat disangkal
bahwa dalam birokrasi manapun selalu ada orang yang sifatnya minimalist. Artinya, sudah merasa puas apabila
mutu hasil pekerjaannya sekedar memenuhi persyaratan minimum. Ke dalam kategori
inilah penurunan mutu dapat dimasukkan. Perilaku penurunan mutu menjadi
tergolong sebagai perilaku yang disfungsional, apabila yang bersangkutan
sesungguhnya mampu menghasilkan mutu kerja yang tinggi karena pendidikan dan
pelatihan yang pernah ditempuhnya mengakibatkannya memiliki pengetahuan dan
keterampilan bekerja dengan mutu hasil pekerjaan yang tinggi pula. Akan tetapi,
dengan kemampuan yang dimiliki tersebut, yang bersangkutan tidak berusaha
sekuat tenaga dan malah dengan sengaja dan sadar menurunkan mutu hasil
pekerjaannya.
Perilaku negatif demikian dapat
berkembang karena berbagai alasan, yang bersumber dari dalam diri orang yang
bersangkutan atau karena suasana internal yang terdapat dalam organisasi.
Jika faktor penyebabnya bersumber
dari dalam diri orang yang bersangkutan sendiri, hal itu mungkin, karena
motifnya menjadi pegawai negeri bukan pengabdian melainkan sekedar mencari
nafkah. Akan tetapi, tidak mustahil bahwa penamilan perilaku negatif seperti
itu muncul karena pimpinannyatidak atau kurang menghargai prestasi kerja yang
tinggi yang ditunjukkan oleh para bawahannya. Karena ada saja pimpinan yang
mempunyai persepsi bahwa prestasi tinggi para bawahannya justru merupakan
ancaman terhadap kedudukan pimpinan yang bersangkutan. Oleh karena itu, upaya
meningkatkan mutu kerja para bawahan harus dikaitkan dengan perbaikan sikap
para bawahan yang bersangkutan dan menciptakan iklim kerja yang kondusif bagi
terwujudnya semangat kerja yang setinggi mungkin.
Memang benar, bahwa rendahnya mutu
hasil pekerjaan dan pelayanan kepada masyarakat dapat merupakan akibat tingkat
pengetahuan dan keterampilan yang tidak tinggi. Dalam hal demikian,
penanganannya harus berbeda dibandingkan dengan situasi adanya unsur
kesengajaan. Salah satu jalan keluar yang dapat dan harus di tempuh adalah
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang pada mulanya mungkin bersifat
fungsional, promosional, teknis, dan administratif tergantung pada sasaran
populasinya.
7. Tidak Sopan
Salah satu hal yang selalu
ditekankan dalam pembahasan tentang patologi birokrasi adalah bahwa dalam
menjalankan tugasnya, para anggota birokrasi hendaknya jangan berorientasi pada
kekuasaan melainkan pada pengabdian dan pelayanan. Orientasi kekuasaan bertolak
belakang dengan peranannya selaku abdi negara dan abdi masyarakat.
Salah satu akibat orientasi
kekuasaan yang mungkin timbul ialah sikap tidak sopan dalam interaksi seseorang
dengan orang lain karena dengan kekuasaan yang dimiliki ia merasa superior.
Dengan orientasi kekuasaan, seseorang ingin dihormati, bahkan ditakuti. Padahal
yang didambakan adalah birokrasi yang disegani dan ditaati bukan karena
kekuasaannya melainkan karena kemampuannya yang tinggi menyelesaikan tugas yang
dipercayakan kepadanya. Dengan orientasi kekuasaan seseorang akan cenderung
melecehkan pihak yang lain.
Padahal, dalam suatau masyarakat
yang beadab, sikap sopan merupakan bagian tata krama sosial. Karena itu,
menumbuhkan dan memelihara sikap sopan di kalangan pegawai negeri terutama di
kalangan mereka yang berhubungan langsung dengan masyarakat harus menempati
prioritas tinggi.
8. Diskriminasi
Para anggota birokrasi pemerintahan
adalah abdi negara dan abdi seluruh masyarakat. Makna peranan demikian antara
lain ialah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, para pegawai negeri
harus bersikap adil, tidak dibenarkan bertindak diskriminatif.
Jika terjadi perlakuan yang
diskriminatif, dasarnya dapat beraneka ragam, misalnya pertimbangan primordialisme
yaitu seperti kesukuan dan kedaerahan atau ras, satu almamater, status sosial
pihak yang dilayani, dan berbagai pertimbangan subjektif lainnya.
Apabila dewasa ini, makin sering
dikemukakan oelh berbagai pihak agar birokrasi pemerintahan semakin transparan,
salah satu alasannya adalah agar para pegawai negeri tidak bertindak
diskriminatif. Bertindak adil dan tidak diskriminatif, juga berarti bahwa harus
terpelihara keseimbangan antara hak dan kewajiban para warga yang membutuhkan
pelayanan. Dengan transparansi birokrasi, yang membutuhkan pelayanan akan
merasa jelas kewajiban apa yang harus dipenuhinya, dan dengan demikian, ia akan
memperoleh haknya. Di lain pihak, pejabat/pegawai yang memberikan pelayanan
akan mudah dinilai apakah bertindak adil atau tidak.
Di sinilah terlihat pentingnya
keterbukaan suatu birokrasi dalam arti kejelasan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar bertindak, kriteria pemberian pelayanan yang diutamakan
serta bentuk pelayanan apa yang harus diberikan. Jika masing-masing pihak taat
kepada ketentuan formal dan kriteria yang terpampang dengan jelas, akan semakin
tertutuplah kemungkinan bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak
diskriminatif, suatu perilaku yang memang tidak diharapkan ditampilkan. Apabila
terjadi, dampaknya ialah citra birokrasi yang bersangkutan akan ternoda.
9. Cara Kerja yang Legalistik
Negara-negara modern pada umumnya
menganut paham bahwa negara dikelola berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan
kekuasaan. Pedoman normatif yang berlaku adalah berbagai peraturan
perundang-undangan, mulai dari konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah
dan berbagai produk hukum lainnya yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Dengan demikian, jelas bahwa setiap
tindakan anggota birokrasi pemerintahan harus kuat dasar legalitasnya. Namun di
sisi lain, kepada birokrasi pemerintahan yang sering dilontarkan tuduhan bahwa
dalam menjalankan fungsinya, birokrasi menggunakan pendekatan legalistik yang
berlebihan. Ada kalanya memang sukar untuk menarik garis pemisah yang jelas
antara “legalitas tindakan” dengan “pendekatan yang legalistik”.
Rumitnya permasalahan hukum seperti
disinggung di muka, sering ditambah oleh kenyataan bahwa terdapat peratura
perundang-undangan yang masih berlaku padahal materi yang diatur oelh ketentuan
itu dipandang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Karena belum dicabut
atau diganti, ketentuan tersebut tentunya tetap berlaku dan para pejabat atau
pegawai negeri berkewajiban untuk memberlakukannya. Warga masyarakat, sering
memandang sikap birokrasi yang demikian sebagai sikap legalistik yang kaku.
Situasi seperti itu memang merupakan dilema bagi suatu birokrasi karena apabila
diterapkan, pelaksanaannya tidak akan mencapai sasaran yang seharusnya dicapai.
Sebaliknya, apabila dibuka pintu membuat interpretasi yang sesuai dengan
tuntutan zaman, tidak mustahil mengarah apad interpretasi subjektif, suatu hal
yang diharapkan terjadi.
Kita mengatasi dilema seperti itu
tampaknya terletak pada kerapian dan rasa pengabdian para birokrat yang memang
harus jadi pelopor dalam hal ketaatan pada semua ketentuan hukum yang berlaku
sambil berupaya menghindari pendekatan legalistik yang kaku, apalagi kalau
berakibat pada tidak terselenggaranya administrasi pemerintahan negara
sebagaimana mestinya.
10. Dramatisasi
Dramatisasi, sebagai suatu penyakit
birokrasi merupakan salah satu “produk” paksaan yang disertai oleh sikap
menaku-nakuti. Salah satu bentuk dramatisasi yang mungkin terjadi adalah
membesar-besarkan pelanggaran seseorang, sehingga tidak lagi proporsional dan
ancaman hukumannya pun lebih berat dari ketentuan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dramatisasi biasanya dilakukan
karena motif memperoleh keuntungan pribadi, misalnya dengan menempuh
“penyelesaian” di luar jalur hukum karena penyelesaian demikian memberikan
“manfaat” bagi pejabat atau pegawai yang bersangkutan.
11. Sulit Dijangkau
Telah dimaklumi, bahwa semakin
demokratis suatu masyarakat semakin menonjol pula egalitarianisme dalam
interaksi seorang warga masyarakat dengan warga lain, termasuk dengan mereka
yang secara kolektif tergolong sebagai “penguasa”. Sebaliknya, di lingkungan
masyarakat yang menganut nilai-nilai otoritarianisme atau paternalisme masih
dominan, jarak penguasa dengan rakyat biasa pada umunya cukup lebar. Artinya,
akses rakyat kepada para penguasa tidak selalu mudah.
Dalam praktik, jarak tersebut
terlihat dalam sulitnya anggota masyarakat menjangkau pajabat atau petugas
tertentu, karena di samping keterikatan pada ketentuan-ketentuan protokoler,
sering terdapat “tembok birokrasi” yang harus ditembus. Wujud “tembok” dimaksud
adalah berbagai jenjang atau hirarki birokrasi.
Dalam birokrasi yang demokratis,
transparan dan terbuka, masalh seperti ini dapat dihindari, karena antara lain,
adanya pola dan praktik pendelegasian wewenang dari pejabat yang lebih tinggi
kepada para bawahannya. Dalam sistem kerja yang demikian, jelas terlihat
wewenang
apa yang telah didelegasikan kepada siapa. Pada gilirannya pendelegasian
wewenang dapat menghilangkan keluhan tentang sulitnya pejabat tertentu
dijangkau oleh masyarakat yang ingin berhubungan dengannya.
12. Sikap Tidak Acuh
Sikap tidak acuh merupakan salah satu
akibat orientasi kekuasaan yang dianut oleh para anggota suatu birokrasi.
Orientasi demikian sering menjelma dalam bentuk yang menonjolkan pandangan
bahwa dialah yang dibutuhkan oleh orang lain. Berbagai hal negatif dapat timbul
sebagai akibat perilaku seperti itu. Misalnya membiarkan orang yang membutuhkan
pelayanannya menunggu, atau mengulur waktu penyelesaian pemberian pelayanan
atau bahkan menyuruh orang tersebut kembali pada waktu yang lain, padahal
sebenarnya pelayanan dapat diberikan pada waktu itu.
Memang mungkin saja, seorang pejabat atau
pegawai tidak dapat dengan segera memberikan pelayanan kepada yang memerlukan
pelayanan dengan alasan kuat yang validitasnya dapat dipertanggungjawabkan.
Misalnya, ada tugas yang mendesak untuk diselesaikan, rapat dinas yang tidak
mungkin ditinggalkan, atau alasan kuat lainnya. Dalam hal demikian, yang perlu
dilakukan adalah pemberian penjelasan, sehingga pihak yang memerlukan pelayanan
dapat menerimanya. Dengan cara seperti itu adanya kesan bahwa seorang pejabat
atau pegawai bersikap tak acuh dapat dihilangkan, yang pada gilirannya
mempunyai arti penting dalam pemeliharaan citra birokrasi yang positif.
13. Tidak Disiplin
Mematuhi disiplin organisasi merupakan
salah satu persyaratan yang mutlak ditaati oleh semua aparatur pemerintah.
Kepatuhan pada disiplin organisai menyangkut berbagai segi seperti ketaatan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kehadiran tepat waktu di tempat
petugas, kepatuhan kepada atasan, bekerja berdasarkan kultur organisasi yang
disepakati bersama, menjunjung tinggi etos kerja dan tidak berperilaku negatif.
Disiplin organisasi harus ditegakkan,
karenanya pelaku pelanggaran harus ditindak tegas dan dikenakan sanksi yang
sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukannya, mulai dari yang paling
ringan – seperti teguran lisan atau tulisan -
hingga pada yang paling berat yaitu pemecatan yang lazim dikenal dengan
istilah “pemberhentian dengan tidak hormat”.
Hanya saja, dalam pengenaan sanksi
tertentu, semua kriteria objektivitas harus terpenuhi. Dengan demikian, dua hal
dapat tercapai, yaitu perilaku yang dikenakan sanksi dapat memahami dan
menerimanya, sekaligus menjadi pelajaran bagi yang lain agar tidak melanggar
disiplin organisasi.
14. Inersia
Inersia dapat timbul karena dua sebab
utama. Pertama, karena kemampuan kerja yang rendah, dan kedua, karena sikap mental.
Jika penyebabnya adalah kemampuan kerja yang rendah, dapat dikatakan bahwa
upaya menanggulanginya relatif lebih mudah, misalnya dengan pemberian pelatihan
tambahan. Lain halnya apabila faktor penyebabnya adalah masalah keperilakuan.
Banyak pakar yang membandingkan para
karyawan organisasi swasta, teruatam organisasi niaga yang biasanya bekerja
cepat dengan para pegawai negeri yang terkesan bekerja dengan lamban.
Pembandingan itu biasanya berangkat dari pandangan bahwa para karyawan
organisasi niaga dituntut bekerja cepat karena pada umumnya menghadapi
persaingan dengan organisasi niaga lain yang menghasilkan barang/jasa serupa.
Bahkan, ada kalanya persaingan tersebut tidak sehat dan malahan sering dengan
melanggar norma-norma etika dan moral. Bekerja cepat dimaksudkan antara lain
untuk memenangkan persaingan tersebut. Lain halnya dengan birokrasi
pemerintahan, yang dalam menyelesaikan tugas fungsionalnya termasuk dalam
pemberian pelayanan – tidak menghadapi persaingan karena tidak ada organisasi lain
dalam negara yang menyelenggarakan fungsi sejenis.
Sesungguhnya, kesimpulan yang diperoleh
dari pembandingan tersebut tidak sepenuhnya benar, dengan empat alasan utama,
yaitu:
Pertama, tanpa adanya persaingan pun dalam
menghasilkan “produk” atau pemberian jasa tertentu, birokrasi pemerintahan
tetap dituntut bekerja cepat, paling sedikit untuk memenuhi tuntutan yang
semakin meningkat dari masyarakat.
Kedua, karena keterbatasan kemampuan
pemerintah menyediakan sarana dan prasarana kerja bagi seluruh aparatnya,
birokrasi pemerintahan dituntut berkarya dengan tingkat efisiensi, efektivitas
dan produktivitas yang setinggi mungkin, yang tidak akan terwujud apabila
aparat bekerja dengan lamban.
Ketiga, dalam segi-segi tertentu kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, seperti dalam hal menjamin keselamatan
negara, keutuhan wilayah, keamanan dan ketertiban masyarakat, memerangi
kejahatan, penanggulangan berbagai gangguan ketertiban, memadamkan kerusuhan,
meredam ancaman yang mungkin timbul, aparatur pemerintah sesuai dengan tugas
pokok masing-masing tidak hanya dituntut bekerja cepat, tetapi terus berada
pada kondisi siaga.
Keempat, dalam era globalisasi seperti
sekarang suatu pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu memang bersaing dengan
pemerintah dan negara lain.
Dalam kehidupan bernegara, ada yang
mengatakan bahwa tidak ada sekutu yang abadi, juga tidak ada seteru yang abadi,
yang abadi adalah kepentingan nasional. Misalnya, jika dalam suatu kawasan
tertentu terdapat aliansi beberapa negara, ada kalanya mudah mewujudkan kerja
sama di bidang militer, politik, pendidikan, atau di bidang kebudayaan. Tetapi,
pengalaman menunujukkan kerja sama di bidang ekonomi sering sulit terwujud,
misalnya karena komoditi ekspor sejenis dan pemasaran ke pasar internasional
yang sama pula. Jelas, yang terjadi adalah persaingan. Persaingan juga sering
terlihat dalam menarik para investor asing, antara lain dalam bentuk
“perlombaan” memberikan berbagai bentuk kemudahan seperti waktu yang relatif
singkat menyelesaikan perizinan, kepastian memperoleh keuntungan yang dapat
ditransfer ke negara pemilik modal, fasilitas kerja yang canggih, tersedianya
mitra kerja yang bonafide, keringanan beban pajak, dan berbagai daya tarik
lainnya yang kesemuanya menuntut kemampuan kerja dengan cepat.
Dari empat alasan di atas, jelas terlihat
bahwa tidak ada pembenaran yang dapat dipertanggungjawabkan untuk bekerja
lamban di kalangan birokrasi pemerintahan.
15. Sikap Kaku (Tidak Fleksibel)
Sikap kaku dapat merupakan akibat berbagai
faktor, seperti karena orientasi kekuasaan, berhadapan dengan kondisi yang
masih asing, menemui orang yang belum dikenal atau karena kurang percaya pada
diri sendiri. Apapun alasannya, sikap kaku biasanya berakibat pada interaksi
yang tidak lancar, antara seseorang dengan orang lain. Jika interaksi yang
terjadi tidak lancar berarti pula bahwa produktivitas kerja menjadi rendah,
yang pada gilirannya menimbulkan ketidakpuasan pada pihak lain yang menjadi
mitra berinteraksi.
Kiranya tidak akan terlalu jauh dari
kenyataan yang sebenarnya, apabila dikatakan bahwa salah satu bentuk kekakuan
yang sering tampak pada birokrasi pemerintahan adalah dalam hal
menginterpretasikan dan menerapkan berbagai peraturan perundang-undangan.
Situasi demikian menjadi masalah apabila interpretasi resmi berbeda dengan
interpretasi pihak lain. Jika perbedaan interpretasi itu bersifat mendasar,
akan berarti sukar mempertemukan pandangan dalam penerapannya yang dapat
menimbulkan friksi.
16. Tidak Berperikemanusiaan
Perilaku yang tidak berperikemanusiaan
dapat terjadi secara internal dalam suatu organisasi atau dalam interaksi
antara anggota suatu birokrasi dengan warga masyarakat tertentu. Secara
internal, tindakan yang tidak manusiawi dapat terjadi dalam hal seorang atasan
menjatuhkan hukuman terhadap bawahan yang melakukan suatu pelanggaran.
Bentuknya pun dapat beraneka ragam, yang kesemuanya digolongkan pada tidak
menghormati harkat, martabat, dan hak asasi bawahan yang bersangkutan. Contoh
ekstremnya adalah pemecatan tanpa alasan yang benar-benar kuat, pemukulan,
penganiyaan, dan tindakan brutal fisik lainnya.
Sedangkan, tindakan yang tidak manusiawi
terhadap warga masyarakat dapat terjadi dalam negara tertentu, misalnya seseorang
dituduh melakukan pelanggaran atau terlibat dalam tindakan criminal, sehingga
yang bersangkutan ditahan yang disertai tindakan yang dapat dikategorikan
sebagai penganiyaan, seperti untuk memperoleh pengakuan tertuduh. Salah satu
contoh perlakuan yang tidak manusiawi adalah apabila seseorang terpidana
ditahan penjara – yang ada kalanya disebut sebagai lembaga pemasyarakatan –
dengan kondisi ruang tahanan yang tidak layak bagi manusia, melakukan kerja
paksa di luar batas-batas kemampuan dan martabat manusia. Mereka diharuskan
makan makanan yang tidak memenuhi persyaratan gizi minimal, tidak tersedianya
fasilitas kesehatan atau pengasingan yang berlebihan.
Tindakan brutal dan tidak manusiawi dapat
pula terjadi dalam hal upaya menegakkan dan memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat. Misalnya, apabila terjadi huru-hara, aparat keamanan yang tidak
dapat mengendalikan emosinya – atau karena merasa berkuasa – serta merta
menggunakan kekerasan melampaui “tuntutan” pengamanan yang wajar. Adanya unjuk
rasa oleh sekelompok masyarakat yang menuntut sesuatu, dapat pula mendapat
perlakuan yang tidak manusiawi. Umpamanya, dalam upaya pembubaran para
pengunjuk rasa dengan cara-cara yang kasar, apalagi dengan menggunakan senjata.
Dari contoh-contoh dia atas, terlihat bahwa
tidak tertutup kemungkinan bagi aparat untuk bertindak tidak manusiawi.
Meskipun motifnya mungkin baik, siapa pun akan sependapat bahwa cara-cara yang
tidak manusiawi tetap tidak dapat dibenarkan.
17. Tidak Peka
Telah umum diketahui dan dirasakan, bahwa
salah satu ciri kehidupan modern dewasa ini adalah terjadinya perubahan dalam
berbagai bidang, yang bahkan ada kalanya berlangsung tanpa dapat diperhitungkan
atau diduga sebelumnya. Perubahan tersebut dapat terjadi di bidang politik,
seperti yang terjadi di negara-negara yang tadinya menganut paham komunisme di
Eropa Timur dan bubarnya negara Uni Soviet. Juga terbentuknya aliansi baru di
bidang ekonomi dan perdagangan, seperti NAFTA dan AFTA; lahirnya negara-negara
industri baru yang dikenal dengan “naga kecil di Asia”, yaitu Korea Selatan,
Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Demikian juga perubahan di bidang teknologi –
terutama teknologi transportasi, komunikasi dan informasi – yang pada
gilirannya mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai-nilai sosial budaya dalam
berbagai masyarakat.
Sangat menarik untuk menyimak dampak
berbagai perubahan yang terjadi pada tingkat regional dan global, karena pasti
berpengaruh pada kehidupan suatu masyarakat tertentu secara internasional.
Salah satu pengaruh yang timbul adalah tuntutan masyarakat yang semakin
meningkat, seperti demokratisasi kehidupan politik, peningkatan taraf dan mutu
kehidupan rakyat, tuntutan menghilangkan kesenjangan sosial, memerangi
kemiskinan, akses yang lebih mudah untuk memperoleh pendidikan, pelayanan
kesehatan yang semakin terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah serta aparatur
negara yang makin terbuka.
Implikasi kesemuanya itu bagi birokrasi
pemerintahan adalah tuntutan untuk bekerja lebih produktif dan mutu pelayanan
yang semakin tinggi. Berarti aparatur pemerintah harus peka terhadap berbagai
perubahan yang terjadi, dan menunjukkan kepekaan tersebut dalam bentuk cara
kerja, metode kerja, teknik pelayanan dan pendekatan institusional yang baru,
dalam arti sesuai dengan tuntutan dan perubahan baru tersebut.
18. Sikap
Tidak Sopan
Sesungguhnya,
mudah untuk menyepakati pendapat bahwa tidak ada tempat untuk bertindak tidak
sopan dalam interaksi seorang pejabat atau pegawai dengan pihak lain, baik
dalam arti sesama aparatur maupun dengan para warga masyarakat. Akan tetapi,
dalam kenyataan selalu ada pejabat atau pegawai, yang karena orientasinya pada
kekuasaan, ada kalanya bertindak tidak atau kurang sopan untuk tidak mengatakan
kasar yang salah satu bentuknya adalah penggunaan kata-kata yang menyinggung
perasaan orang lain.
19. Sikap
Lunak
Sebagai "lawan" sikap keras dan kaku,
seorang pejabat atau pegawai mungkin pula menampilkan sikap yang terlalu lunak.
Dalam berbagai teori tentang tipologi dari ciri-ciri kepemimpinan, misalnya,
dikenal adanya pejabat pimpinan yang termasuk kategori laissez faire yang salah satu cirinya adalah keengganan mengenakan
sanksi disiplin terhadap bawahannya yang nyata-nyata melanggar disiplin
organisasi. Tipe pimpinan yang demikian akan cenderung bersikap lunak dalam
menghadapi warga masyarakat, misalnya bertindak menyalahi peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sikap lunak tentu dapat pula ditampilkan oleh para
petugas pelaksana kegiatan operasional. Dalih yang biasanya digunakan dalam
bersikap lunak adalah agar tindakan bersifat manusiawi dan demi terpeliharanya
hubungan baik antara birokrasi dengan warga masyarakat. Jika hanya itu
alasannya, sikap lunak memang dapat dipahami. Akan tetapi, ada dua segi lain
yang harus diperhitungkan. Pertama,
hukum harus ditegakkan secara rasional dar objektif. Pelanggaran harus ditindak
dan sanksi dikenakan dengan tepat. Kedua,
jika sikap lunak tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan-pertimbangan
irasional, seperti adanya keinginan memperoleh sesuatu imbalan, tentunya sikap
demikian tidak dapat dibenarkan.
20. Tidak
Peduli Mutu Kinerja
Dalam setiap organisasi yang dikelola dengan baik
selalu terdapat kriteria kinerja (performance criteria) yang harus dipenuhi
oleh setiap orang dalam organisasi. Seperti telah dimaklumi, kriteria tersebut
terdiri antara lain dari cara kerja, mutu yang dihasilkan, waktu penyelesaian
sesuatu tugas, yang kesemuanya bersumber pada klasifikasi jabatan dan
spesifikasi pekerjaan.
Suatu birokrasi pemerintahan dituntut bekerja dengan
tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang setinggi mungkin, dan
memberikan pelayanan yang sebaik mungkin pula. Dari segi inilah, kepedulian
setiap pegawai negeri pada mutu kinerja harus dilihat. Bila terdapat
ketidakpedulian pada mutu kerja di kalangan pegawai negeri, perlu diteliti
dengan seksama penyebab kekurangmampuan atau perilaku negatif tersebut. Dengan
demikian, tindakan menanggulanginya disesuaikan dengan bentuk, sifat dan factor
penyebab ketidakpedulian tersebut.
21. Salah
Tindak
Salah tindak dapat terjadi dalam berbagai bentuk
seperti melampaui batas wewenang, melakukan sesuatu yang tidak termasuk bidang
tugas seseorarg atau berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Faktor penyebabnya mungkin karena pemahaman
yang tidak tepat tentang wewenang dan tanggung jawab seseorang, tetapi tidak
mustahil karena unsur kesengajaan dengan motif tertentu.
22. Semangat
yang Salah Tempat
Semangat yang salah tempat pada galibnya didasarkan
pada berbagai pertimbangan, yang diharapkan menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Pertimbangan-pertimbangan itu dapat berupa primordialisme, status sosial, latar
belakang pendidikan. Dengan semangat yang salah tempat, mungkin saja seorang
pejabat atau pegawai bekerja keras dengan semangat yang tinggi demi kepentingan
diri sendiri atau kelompok tertentu, akan tetapi menjadi kendor apabila sudah
menyangkut kepentingan negara sebagai keseluruhan.
23. Negativisme
Merupakan hal yang logis untuk mengharapkan agar
seluruh anggota birokrasi menggunakan cara berpikir yang positif dalam
pengabdian dan pelaksanaan tugasnya. Akan tetapi, karena berbagai alasan dan
motif, mungkin saja ada anggota birokrasi yang berpandangan negatif mengenai
berbagai pihak atau berbagai hal.
24. Melalaikan
Tugas
Sebagaimana halnya dengan setiap warga negara, dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya, di kalangan aparatur
pemerintahan pun harus terpelihara keseimbangan antara hak dan kewajibannya.
Artinya perolehan hak seorang pegawai dalam berbagai bentuknya hanya dapat
terwujud apabila yang bersangkutan menunaikan kewajibannya dengan
sebaik-baiknya. Merupakan hal yang tidak logis apabila seseorang gesit
memperjuangkan haknya, tetapi di lain pihak melalaikan penunaian kewajibnnya.
Tidak menunaikan kewajiban dengan baik, antara lain berarti melalaikan tugas.
Wujudnya dapat beraneka ragam, seperti mangkir, hadir di tempat tugas tetapi
tidak bekerja sebagaimana mestinya, sibuk melakukan sesuatu yang bukan
tugasnya, tidak manyelesaikan pekerjaan menurut jadwal yang sudah ditetapkan.
Apapun alasannya, tindakan melalaikan tugas tentunya tidak dapat dibenarkan.
25. Rasa
Tanggung Jawab yang Rendah
Salah satu langkah yang dapat diambil oleh para
pejabat pimpinan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab para bawahannya ialah
dengan upaya mengenali kepribadian para bawahan dan dengan pengenalan itu
melakukan penyeliaan yang sesuai. Salah satu cara pengenalan yang tepat
digunakan ialah dengan menerapkan teori yang dikembangkan oleh Douglas McGregor
dalam karyanya yang berjudul The Human side of Enterprise.
McGregor dalam teorinya pada intinya mengatakan bahwa para manajer menggunakan
persepsi bahwa para bawahan dapat digolongkan menjadi manusia tipe “X” dan tipe
“Y”. Para bawahan yang tergolong pada tipe “X” adalah mereka yang :
a. Pada
dasarnya malas,
b. Tidak
senang bekerja,
c. Hanya
mau bekerja apabila terus menerus didorong,
d. Memerlukan
pengawasan yang ketat oleh atasannya.
Sebaliknya
para bawahan yang termasuk tipe “Y'” adalah mereka yang :
a. Pada
dasarnya rajin,
b. Senang
bekerja,
c. Memiliki
rasa tanggung jawab yang besar dalam menunaikan tugas yang dipercayakan
kepadanya,
d. Tanpa
diawasipun akan berupaya bekerja dengan sebaik-baiknya.
Pemahaman teori McGregor akan memungkinkan setiap
pejabat pimpinan menggunakan teknik penyeliaan tertentu, karena sesuai dengan
tipologi kepribadian bawahan yang bersangkutan, diharapkan dapat menumbuhkan
rasa tanggung jawab yang lebih besar.
26. Lesu
Darah
Dalam patologi dikenal istilah teknis yang disebut
“anorexia” yang secara populer dapat diterjemahkm menjadi “kelesuan yang
berakibat pada tidak adanya kegairahan berbuat sesuatu” atau “lesu darah”.
Digunakan dalam konteks birokasi pemerintahan, anorexia atau “Iesu darah”
terjadi apabila, karena berbagai alasan, para pegawai tidak memiliki semangat
atau gairah kerja yang tinggi. Berbagai alasan tersebut antara lain:
1. ketidajelasan
tugas dan tanggung jawab,
2. gaya
penyeliaan yang autokratik,
3. keputusan
atasan yang tidak dipahami oleh para bawahan pelaksana,
4. suasana
kerja yang tidak kondusif bagi bertumbuknya produktivitas,
5. sarana
dan prasarana kerja yang tidak memadai,
6. persepsi
para bawahan tentang sistem imbalan yang dterimanya.
Sebagaimana halnya dengan banyak segi kehidupan
berorganisasi, tanggung jawab untuk mengenali berbagai faktor penyebab “lesu
darah” tersebut terletak di pundak para pejabat pimpinan yang harus mampu
mengatasinya. Sepanjang faktor-faktor penyebabnya berada dalam lingkup
kewenangan pimpinan untuk mengatasinya langkah-langkah konkret untuk
menanggulangi harus diambilnya.
27. Paperasserie
Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu birokrasi selalu
terlibat dalam penanganan berbagai aneka ragam dokumen dalam penyelenggaraan
kegiatannya. Dikatakan demikian karena dokumentasi kegiatan aparatur pemerintah
memang harus dilaporkan dengan sebaik-baiknya.
Dokumentasi sangat penting karena di dalamnya
terdapat informsi yang harus terkumpul dan tersimpan sedemikian rupa sehingga
mudah ditelusuri dan diambil dari tempat penyimpanannya.
Kelak
diperlukan.Penggunaannya pun dapat beraneka ragam,misalnya untuk kepentingan
penelitian oleh para ilmuan,sebagai bahan referensi dalam pengambilan keputusan
dan untuk kepentingan sejarah organisasi yang bersangkutan.
Untuk
berbagai kepentingan itulah diciptakan suatu sistem pengelolaan informasi yang
bahkan perlu menggunakan teknologi informasi yang paling mutakhir.Dengan
menggunakan teknologi yang mutakhir,berbagai dokumen dapat
dikumpulkan,diolah,disimpan dan ditelusuri dengan mudah.Seperti
dimaklumi,berbagai dokumen yang diterima diklasifikasikan dengan berbagai
cara.Misalnya,kategori dokumen yang harus disimpan untuk selama-lamanya
disimpan untuk jangka waktu yang panjang misalnya seratus tahun,25 tahun dan
seterusnya.Disamping itu,ada dokumen yang setelah penggunaannya lewat dapat
dibuang.Cara lain mengklasifikasikan dokumen adalah berdasarkan subjek dalam
arti jenis informasi yang terdapat di dalam dokumen tersebut,seperti yang
menyangkut organisasi,keuangan,personalia dan sebagainya.
Jelaslah
bahwa pekerjaan kertas merupakan bagian integral yang penting dari suatu
birokrasi.Akan tetapi,kegiatan itu dapat menjadi penyakit birokrasi apabila
kegiatan itu menjadi obsesi tanpa tujuan yang jelas.Misalnya pengumpulan semua
dokumen demi pengumpulan semata-mata yang pada gilirannya memerlukan tenaga,fasilitas
kerja,peralatan,ruangan serta biaya.Kebiasaan seperti itulah yang dimaksudkan
dengan paperasserie yang harus dicegah.
Salah
satu contoh penyakit paperaserie adalah kebiasaan membuat salinan dokumen seperti laporan dalam jumlah tertentu yang
dimaksud,tujuan dan penggunaannya tidak jelas.
Teori
informasi mengatakan bahwa salinan diberikan hanya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan langsung dengan materi yang terdapat dalam dokumen
dimaksud,misalnya untuk kepentingan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan
berbagai instansi yang terlibat dalam penyelesaian tugas tertentu.
Contoh
lain dari penyakit ini ialah kegemaran birokrasi menciptakan dan menggunakan
berbagai jenis formulir dalam kaitannya dengan pemberian pelayanan.Harus
ditekankan bahwa guna memperoleh informasi tertentu dari pihak yang memerlukan
pelayanan,memang diperlukan formulir tertentu pula.Misalnya,dalam
melaporkan penghasilan,dalam rangka
pembayaran pajak penghasilan badan atau perorangan diperlukan formulir.Tetapi
harus dijaga agar baik atau formatnya isinya maupun jumlahnya jangan justru
mempersulit atau memperlambat pemberian pelayanan yang diperlukan.
Karena
itu,jelas bahwa penanganan informasi tidak dapat dilihat hanya sebagai kegiatan
sifatnya teknis,melainkan sebagai bagian integral pengelolaan organisasi secara
daya guna dan berhasil guna.Pemanfaatana teknologi canggih dibidang informasi
harus dilihat dari sudut pandang ini yang pada analisis terakhir harus
berkaitan dengan peningkatan produktifitas kerja dan pelayanan yang semakin tinggi.
28.Melaksanakan
Kegiatan yang Tidak Relevan
Ada
kalanya suatu birokrasi pemerintahan dituntut terlibat dalam kegiatan-kegiatan
tertentu yang sesungguhnya tidak ada relevansinya dengan tugas fungsional
instansi yang bersangkutan.Negara di mana hanya terdapat satu partai
politik,misalnya tidak jarang birokrasi dituntut terlibat dalam kegiatan partai
politik,baik yag sifatnya politis maupun seremonial.
Salah
satu bentuk keterlibatan birokrasi dalam memenuhi tuntutan tersebut adalah
pengerahan pegawai untuk meraimaikan peristiwa yang bagi partai yang berkuasa
mungkin penting,tetapi bagi birokrasi hanya berarti pemborosan karena di
samping harus meninggalkan tempat tugas,juga harus mengeluarkan biaya yang
tidak sedikit,misalnya untuk kepentingan transportasi dan konsumsi bagi para
pegawai yang dikerahkan.Kegiatan demikian dapat dikatakan tidak relevan karena
tidak ada kaitannya dengan produktifitas kerja dan tidak pula ada hubungannya
dengan pelayanan kepada masyarakat.
Ironinya,secara
internal,suatu instansi dapat melakukan kegiatan yang tidak relevan dan
melibatkan para pegawai.Misalnya,upacara-upacara yang sifatnya seremonial
dengan membebankan pembiayaan kepada negara.Situasi yang ideal ialah bahwa
semua kegiatan birokrasi berkaitan langsung dengan tiga hal,yaitu:
1. Merupakan
bagian integral dari keseluruhan upaya pemerintah mencapai tujuan negara.
2. Mempunyai
relevansi langsung dengan peningkatan produktivitas kerja.
3. Mewujudkan
pelayanan kepada masyarakat dengan mutu yang semakin tinggi.
Hanya dengan demikianlah aparatur
pemerintah melakukan berbagai kegiatan yag relevan dengan keberadaannya.
29.Cara
Kerja yang Berbelit-belit (Red Tape)
Dengan alasan
faktual atau tidak,birokrasi sering dilempari tuduhan yang seolah-olah salah
satu ciri birokrasi adalah membuat sesuatu pekerjaan yang sesungguhnya
sederhana menjadi rumit.Dengan perkataan lain,cara uyag berbelit-belit.Buktinya
demikian tuduhan tersebut,sesuatu pekerjaan yang semestinya dapat terselesaikan
dalam waktu singkat,baru dapat tuntas
setelah makan waktu yang relatif lama.Sering ditambahkan pula bahwa
berbelit-belit berarti satu pekerjaan yang sesungguhnya dapat diselesaikan oleh
seseorang,dalam kenyataannya melibatkan beberapa meja yang tentunya berakibat
pula pada mata rantai penyelesaian yang panjang.
Cara kerja yang demikian dapat
terjadi karena banyaknya formulir yang
harus diisi,dokumen pendukung yang tidak sedikit,daftar pertanyaan yang panjang
yang harus dijawab.
30.Kerahasiaan
Sebagai pegawai
negeri tidak boleh membocorkan rahasia jabatan atau rahasia negara tetapi
dilain pihak juga dituntut agar terbuka sehingga warga masyarakat dengan jelas
mengetahui bahwa ia akan memperoleh pelayanan secara wajar apabila semua
ketentuan yang harus dipenuhi telah diikutinya dengan baik.
31.Pengutamaan
Kepentingan Sendiri
Seluruh
anggota birokras pada dasarnya harus merupakan satu korps yang utuh dan
mengabdi hanya pada kepentingan bangsa dan negara,bukan kepada suatu kelompok
tertentu tapi pada kenyataannya banyak sekali hal yang terjadi dilapangan bahwa birokrat banyak mnajdikan instansi
untuk melestarikan kepentingannya sendiri.
32.Suboptimasi
Dalam
arti yang sesungguhnya ,pengabdian para pegawai negeri menuntut pengarahan
segala kemampuan,baik mental,intelektual dan administratif,yang terdapat dalam
diri setiap orang.Berarti berkarya seoptimal mungkin.Bahkan sering dikatakan
bahwa pengabdian yang diharapkan harus tanpa pamrih dan tidak memperhitungkan
untung rugi bagi diri sendiri.Apabila perlu,bahkan mau memberikan pengorbanan
yang semaksimal mungkin,termasuk jiwanya.
39.
Melampaui Wewenang
Dimuka telah ditekankan betapa
pentingnya kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap orang dalam suatu
organisasi, misalnya dengan adanya uraian pekerjaan dan spesifikasi tugas.
Salah satu maksud dan tujuan kejelasan itu adalah mencegah timbulnya situasi,
yang mendorong seseorang bertindak di luar batas-batas wewenangnya. Kejelasan
tersebut semakin penting diingat supaya tidak bertindak melampaui wewenang
sendiri dan mengambil wewenang orang lain (usurpatory) yang didasarkan pada
sikap melecehkan orang lain, terutama apabila dalam bertindak demikian
dihubungkan dengan percaturan kekuasaan dalam organisasi yang bersangkutan.
Misalnya, apabila terdapat keinginan dalam diri seorang pegawai menduduki
jabatan tertentu yang diduduki oleh orang lain. Untuk “membuktikan” kepada
atasan bahwa ia lebih “berhak” atas jabatan itu, yang bersangkutan melakukan
sesuatu yang sebenarnya merupakan tugas pihak lain yang ingin disaingi itu.
Jika pejabat atasan lengah, penilaian positif akan diterimanya sedangkan
“saingannya” itu akan memperoleh penilaian negatif. Situasi demikian tentunya
tidak boleh dibiarkan timbul dan berlanjut karena dapat merusak suasana
kooperatif yang harus dipelihara dan ditumbuh suburkan.
40.
Vested Interest
Secara kategorial
sering dinyatakan bahwa kepentingan birokrasi identik dengan kepentingan
pemerintah dan kepentingan negara sebagai keseluruhan. Prinsip ini antara lain
berarti bahwa tidak boleh adanya tindakan aparat yang bersifat self-serving dalam arti memperoleh
keuntungan bagi diri sendiri atau kelompok tertentu dan mengorbankan
kepentingan yang lebih penting, dan lebih luas, yaitu kepentingan umum.
Banyak bentuk kepentingan diri sendiri
itu. Yang sering muncul ke permukaan adalah pembuatan keputusan tertentu karena
pembuat keputusan sendiri berkepentingan dalam hasil pelaksanaan keputusan
tersebut.
41.
Pertentangan Kepentingan
Hal lain yang berkaitan erat dengan vested interest adalah pertentangan
kepentingan yang juga secara kategorial ditolak sebagai cara bertindak aparatur
pemerintah. Di banyak negara, misalnya terdapat praktek bahwa seseorang yang
menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan diharuskan melepaskan hubungannya
dengan perusahaan-perusahaan di mana ia duduk sebagai pemimpin atau komisaris atau
pemegang saham mayoritas. Bila pemerintah mempunyai proyek tertentu,
penanganannya dilakukan melalui tender terbuka dan transparan yang maksudnya
adalah untuk mencegah timbulnya pertentangan kepentingan pengambil keputusan
dengan kepentingan pemerintah.
42.
Pemborosan
Efisiensi dan
efektivitas merupakan dua prinsip yang pada umumnya disepakati dan harus
dipegang tegung teguh dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Alasan
filosofis dan operasionalnya ialah bahwa pemerintah pada galibnya mempunyai
keterbatasan untuk menyediakan sarana dan prasarana kerja yang diperlukan oleh
seluruh jajarannya. Alasan lain yang mungkin dapat dikategorikan sebagai alasan
moral dan legal ialah bahwa dana dan daya yang dimiliki oleh pemerintah
bersumber dari rakyat dalam bentuk pajak dan pungutan resmi lainnya.
Oleh karena itu, para
pakar dan para praktisi sama-sama sependapat bahwa tidak pernah ada pembenaran
bagi birokrasi yang bekerja dengan tidak efisien dan tidak efektif.
Akan tetapi, karena
berbagai hal, pemborosan mungkin tetap terjadi. Di antara berbagai faktor
penyebabnya ialah :
1. Tujuan
dan sasaran yang ingin dicapai tidak jelas, sehingga pemanfaatan dana, daya,
sarana dan prasarana menjadi sia-sia, atau paling sedikit kurang tepat.
2. Pembangunan
suatu proyek yang tidak didasarkan pada studi kelayakan yang matang, sehingga
setelah suatu proyek selesai dibangun, ternyata tidak berfungsi sebagaimana
mestinya.
3. Tidak
adanya perencanaan yang matang, sehingga peringkat skala prioritas menjadi
kabur, yang pada gilirannya berakibat pada penggunaan dana yang tidak optimal.
4. Sikap
ketidakpedulian atas pemborosan yang terjadi, antara lain karena pandangan
bahwa dana dan sarana itu bukan miliknya pribadi.
5. Kemampuan
kerja yang rendah sehingga sering terjadi kesalahan dalam penyelesaian tugas.
Dari identifikasi berbagai sikap dan
perilaku aparat birokrasi pemerintah di atas, terlihat bahwa sikap dan perilaku
disfungsional merupakan penyebab timbulnya berbagai “penyakit” yang pada
gilirannya berakibat tidak berfungsinya aparatur sebagaimana mestinya.
Mengenali berbagai “penyakit” yang
mungkin timbul itu dengan tepat merupakan langkah yang amat penting karena
dengan diagnosa yang tepat, terapi yang paling ampuh dapat diberikan. Lebih
penting lagi, upaya pencegahannya dapat dilakukan secara sistematik dan
programmatik.
43. Syscophancy
Sebuah
logika yang sederhana pun membenarkan sikap dan perilaku setiap bawahan untuk
memuaskan atasannya. Teori manajemen sumber daya manusia antara lain menekankan
bahwa cara terbaik memuaskan atasan adalah dengan menunjukan prestasi kerja
yang setinggi mungkin, disiplin yang kokoh, loyalitas yang tidak disangsikan
lagi. Dimana tegasnya hal tersebut membutuhkan perilaku yang positif. Akan
tetap, dimana adakalanya para bawahan berupaya memuaskan para atasannya bukan
melalui kinerja yang sebaik mungkin tetapi dengan cara-cara yang kurang dan
bahkan tidak elegan, dan cara-cara tersebutlah yang diesebut dengan syscophancy. Contoh yang mungkin paling
sering muncul adalah dalam hal pelaporan. Seperti diketahui, laporan yang baik
antara lain berarti bersifat faktual. Artinya laporan mangandung har-hal
yang sebenarnya terjadi baik yang
sifatnya positif maupun negatif.
Keberhasilan dan kekurangberhasilan atau kegagalan harus sama-sama terlihat
dalam laporan. Maksudnya ialah agar keberhasilan dijadikan sebagai alat pemacu
peningkatan produktivitas kerja di masa depan dan kekurangberhasilan atau
kegagalan dijadikar pelajaran dan diatasi sehingga tidak terulang kembali.
Dengan perkataan lain, apabila suatu laporan bawahan tidak faktual, pimpinan
dapat menarik kesimpulan yang tidak
tepat yang pada gilirannya dapat
berakibat pada pengaambilan keputusan yang keliru karena menda arkannya
pada asumsi yang tidak benar. Karena itulah sycophancy
dapat merupakan suatu penyakit birokrasi.
44. Tampering
Biasanya istilah "tampering” digunakan dalam hal terjadi usaha "
mengotak- atik" barang bukti. Bentuknya dapat berupa penghapusan barang
bukti-buki tertentu atau "menambah" bukti-bukti dalam hal terjadinya
suatu pelanggaran, sehingga bobot pelanggran menjadi lebih berat daripada yang
sebenarnya terjadi. Motif melakukannya bisa dua jenis. Pertama menghilangkan
pembuktian yang dapat memebratkan tuduhan kepada pejabat atau pegawai tertentu
sehingga sanksi yang dikenakan kepadanya jadi lebih ringan. Kedua, membuat
bentuk dan sifat pelanggaran yang dituduhkan kepada warga masyarakat menjadi
lebih berat dari yang sesunguhnya terjadi.
45. Imperatif Wilayah Kekuasaan.
Telah dimaklumi bahwa roda administrasi pemerintah
negara yang modern dikemudikan dengan pendekatan sistem. Inti pendekatan
kesisteman ini adalah bahwa seluruh aparatur pemerintah harus bergerak sebagai
kesatuan yang utuh. Organisasi pemerintahan yang terdiri dari satuan-satuan
kerja, yang dikenal dengan berbagai nomenklatur- sereti kementrian, departemen,
badan, lembaga, biro, dinas dengan segala jajarannya meliputi seluruh wilayah
kekuasaan negara. pengorganisasian ini dilakukan karena berbagai pertimbangan
seperti :
1. Penerapan
prisip fungsionalisasi
2. Tugas-tugas
dan kegiatan yang spesialistik
3. Beban
kerja
4. Luas
wilayah kekuasaan negara
5. Rentang
kendali.
Oleh karena itu, tipe dan tipe dan struktur organisasi apa pun yang digunakan
satuan-satuan kerja yang ada merupakan
"subsistem” dari suatu sistem yang berarti merupakan bagian dari sistem yang berlaku. Pendekatan
kesisteman berarti pula bahwa keberhasilan pemerintah menyelanggarakan berbagai
fungsinya diukur dari keberhasilan keseluruhan sistem bukan keberhasilan
satuan-satuan kerja yang bergerak secara sendiri-sendiri. Karena itu, harus
terjadi interaksi dan interdependensi
antara semua satuan kerja. yang menuntut adanya koordinasi, integrasi dan
sinkroonisasi. Dasarnya ialah hubungan yang
bersifat sinergi dan simbiotik. Dalam hal ini, kiranya sukar untuk
menyangkal bahwa penerapan kesisteman dalam penyelenggaraan begitu banyak fungsi pemerintahan tidak
selalu mudah.
Salah-satu faktor penyebab ialah terdapatnya
persepsi di kalangan birokrasi bahwa domain kekuasaannya tidak boleh dijamaah
atau dicamupri oleh instansi lain. Inilah yang dimaksud dengan imperatif
wilayah kekuasaan. Persepsi emikianlah yang menjadi penghalang utama bagi
terwujudnya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang sesungguhnya selalu
didambakan itu. Atas dasar pemikiran demikianlah pentingnya koordinasi,
integrasi, dan sikronisasi sering mendapat penekanan yang kuat.
46. Tokenisme
Tokenisme adalah salah satu bentuk pelaksanaan tugas
yang tidak sepenuh hati,sehingga hasilnay pun bukan merupakan yang terbaik yang
dapat diberikan oleh pelaksananya. Pekerjaan dilakukan "asal jadi".
Masalahnya terletak pada kenyataan bahwa
kinerja yang ditunjukkan memenuhi
standar mutu meskipun hanya pada tingkat yang minimal. Akibatnya seorang atasan akan sukar mengambil
pengenaan sanksi karena bawahan ymg bersangkutan tidak melanggar suatu
peraturan apa pun, meskipun secara moral sesungguhnya yang bersangkutan berkewajiban berbuat semaksimal
rnungkin.
47. Tidak Profesional
Dewasa ini istilah "profesionalisme" makin
sering dikumandangkan di dalam dan di luar pemerintahan sebagai tuntutan yang
diharapkan dipenuhi oleh setiap orang yang menekuni sesuatu pekerjaan. Hanya saja istilah tersebut digunakan secara
sempit dan ditunjukan pada kelompok tertentu, seperfi para pejabat
pimpinan dan para karyawan yang
kegiatannya bersifat ilmiah. Padahal, setiap pekerjaan sebenarnya merupakan
profesi juga. Berarti profesinalisme juga dituntut dari setiap orang yang
berkarya dalam pekerjaannya. Berkarya secara profesional mengandung makna bahwa
seseorang benar-benar memahami seluk beluk tugasnya secara mandalam. Dengan
demikian yang karyawan/pegwai/birokrat mampu menyelenggarakan fungsinya dengan
sebaik-baiknya.jadi itulah yang dimaksud dengan penggunaan istilah
profesinalisme secara tepat. Karena tuntutan tugas dan perkembangan masyarakay
yang semakin pesat menjadi kewajiban setiap orang berkarya termasuk dilingkungan
pemerintahan. Untuk meningkatkan profesionalisme di bidang tugas yang
dipercayakan kepadanya. Hanya demikianlah produktivitas kerja dapat
ditingkatkan dan berbagai bentuk pemborosan dan inefisiensi dapat dikurangi,
bahkan kalau mungkin dihilangkan sama sekali.
48. Sikap Tidak Wajar
Dalam interaksi yang terjadi antara seorang pegawai
dengan warga masyarakat, diharapkan terdapat sikap yang akomodatif tanpa
melanggar ketentuan yang berlaku, sikap demikianlah yang perlu karena interaksi
tersebut mungkin saja timbul faktor-faktor penghalang diluar kemampuan salah
satu pihak untuk mengantisipasi dan mengatasinya, sehingga komitmen yang
dibuatnya tidak dapat dipenuhinya.
3.2 Patologi karena persepsi, perilaku dan
gaya manajerial
Sebagaimana halnya dengan semua
jenis organisasi, “sehat” tidaknya suatu organisasi sangat ditentukan oleh
persepsi yang dimiliki oleh para pejabat pimpinannnya tentang semua segi
kehidupan organisasi, termasuk tentang justifikasi eksistensinya, peranan yang
dimainkannya, batas-batas wewenangnya, dan hakikat tugas fungsionalnya. Tidak
kalah pentingnya adalah perilaku dan gaya manajerial yang digunakan dalam
mengemudikan roda organisasi.
Sudah diakui secara universal, bahwa
keseluruhan perilaku dan gaya manajerial yang seyogyanya digunakan oleh para
pejabat pimpinan pada semua jenjang hirarki organisasi adalah bertumpu pada
gaya yang demokratik. Persepsi yang tidak tepat dan perilaku serta gaya
manajerial yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi, dapat menjadi
penyebab timbulnya patologi tertentu dalam birokrasi pemerintahan. Beberapa
bentuk patologi dimaksud diidentifikasikan dan dibahas berikut ini. :
1. Penyalahgunaan
wewenang dan jabatan
Perilaku disfungsional para pejabat
pimpinan dalam birokrasi pemerintahan, yang paling sering terjadi dan oleh
karenanya mendapat sorotan masyarakat, adalah penyalahgunaan kekuasaan dan
jabatannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa perilaku disfungsional demikianlah
yang menjadi “sumber” dari berbagai perilaku lainnya. Hal ini juga menjadi
dasar tumbuhnya persepsi yang tidak tepat tentang peranannya dalam kehidupan
organisasi. Perilaku itu pulalah yang menjadi alas an mengapa seorang pejabat
pimpinan menggunakan gaya manajerialnya yang tidak demokratik.
Demikian seringnya perilaku demikian
terlihat sampai melahirkan ungkapan yang mengatakan bahwa “kekuasaan cenderung
merusak dan kekuasaan yang absolut merusak dan kekuasaan yang absolut merusak
secara absolute pula”.
Perilaku demikian timbul karena
pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya lupa bahwa kekuasaan yang
ada padanya bukanlah sesuatu yang secar inheren dimilikinya, melainkan karena
kepercayaan yang diperolehnya untuk menduduki suatu jabatan manajerial
tertentu, yang sesungguhnya harus diabdikan kepada kepentingan seluruh
masyarakat. Jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan, yang terjadi
ialah pemanfaatan kekuasaan dan jabatan seseorang untuk kepentingan diri
sendiri atau kelompok tertentu dengan mengorbankan kepentingan yang lebih
penting dan lebih luas, yaitu kepentingan kelompok clientele tertentu yang
secara fungsional harus dilayaninya, bahkan kepentingan Negara sebagai
keseluruhan.
Kepentingan diri sendiri itu dapat
mengambil berbagai bentuk, seperti kekuasaan yang semakin besar, perpetuasi
kedudukan, megalomania, memperkaya diri sendiri dan berbagai kepentingan
lainnya yang didasarkan pada “egosentrisme”
2. Persepsi
yang Didasarkan pada Prasangka
Dalam menjalankan kekuasaan atau
wewenangnya, seorang pejabat pimpinan diharapkan bertindak adil, baik dalam interaksinya
dengan para anggota masyarakat maupun secara internal, yaitu dengan atasan,
rekan setingkat, dan para bawahan.
Sebagai ganti prasangka, persepsi
seorang pejabat pimpinan harus didasarkan pada saling mempercayai, baik dalam
interaksi eksternal maupun internal. Interaksi eksternal yang terjadi sebaiknya
dilandasi oleh pandangan bahwa para warga masyarakat mampu menunaikan
kewajibannya, disamping keinginan untuk memperoleh hak nya secara wajar. Dalam
interaksi internal, persepsi yang menjadi titik tolak berpikir para pejabat
pimpinan adalah bahwa para bawahannya terdiri dari para tenaga yang sudah
dewasa secara mental intelektual.
3. Pengaburan
Masalah
Kadang-kadang terjadi bahwa pejabat
pimpinan mengaburkan bentuk dan sifat permasalahan, karena dengan pengaburan
itu, penyelesaiannya dapat direkayasa sedemikian rupa sehingga menguntungkan
pejabat yang bersangkutan dalam arti kedudukannya, karirnya, statusnya maupun
penghasilannya. Segi negatif lainnya adalah membuat interpretasi sedemikian
rupa, sehingga permasalahan yang sebenarnya sederhana dibuat menjadi sangat
rumit. Tindakan demikian dapat terjadi karena dua hal, pertama sebagai kamuflase untuk menutupi kekurang mampuan pejabat
yang bersangkutan mendefinisikan situasi problematik secara tepat. Kedua sebagai cara untuk memperoleh
sesuatu diluar ketentuan yang berlaku.
4. Menerima
sogok
Terbukanya kesempatan menerima sogok
antara lain terjadi karena seorang pejabat pimpinan memiliki kekuasaan tertentu
yang tidak dimilik oleh orang lain. Bentuk paling nyata dari kekuasaan yang
dimaksud adalah wewenang memberikan ijin. Berbagai cara yang mungkin ditempuh,
dan memang sering terjadi antara lain :
a) Memperlambat
proses penyelesaian pemberian ijin,
b) Mencari
berbagai dalih, seperti kekuranglengkapan dokumen pendukung, keterlambatan
pengajuan permohonan, dan dalih lain yang sejenis
c) Alasan
kesibukan melaksanakan tugas lain,
d) Sulit
dihubungi
e) Memperlambat
dengan menggunakan kata-kata “sedang diproses”.
Ada
berbagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi penyakit ini. Salah satu cara
adalah dengan memaparkan secara jelas persyaratan-persyaratan apa yang harus
dipenuhi pemohon perijinan serta target waktu untuk menyelesaikan
penanganannya. Cara lain adalah pengenaan sanksi hukum terhadap mereka yang
terbukti menerima uang sogok.
5. Pertentangan
kepentingan
Dalam menjalankan roda pemerintahan negara
pertentangan kepentingan antara para anggota birokrasi dengan kepentingan
negara dapat timbul apabila menjadi alat kekuatan tertentu, seperti kekuatm
politik, kekuatan ekonomi atau kelompok-kelompok penekan, yang terdapat dalam
masyarakat. Untuk mencegah timbulnya situasi demikianlah, ditekankan pentingnya
netralitas birokrasi dalam arti bahwa kekuatan sosial politik mana pun yang
berkuasa dalam satu kurun waktu tertentu, birokrasi harus mampu mengabdikan
dirinya hanya kepada kepentingan Negara sebagai keseluruhan. Artinya, semua
tindakannya diarahkan kepada pencapaian tujuan negara bangsa yang bersangkutan.
6. Kecenderungan
mempertahankan status Quo
Mereka yang bersikap ambivalen,
dalam arti bahwa orientasinya adalah masa kini dan obsesinya berkisar pada
upaya menikmati hidup selagi masih berkuasa. Dalam bahasa populer, para anggota
kelompok ini tergolong pada penganut pandangan "mumpung". Anggota
kelompok inilah yang sangat gandrung mempertahankan status quo yang ada.
Keinginan
mempertahankan status quo menjadi patologi birokasi karena salah satu kenyataan
dalam kehidupan kenegaraan adalah terjadinya perubahan yang tidak mungkin
dielakkan atau dihindari.
7. “Empire
Building”
Salah satu perilaku negatif yang dapat ditonjolkan
oleh para pejabat pimpinan adalah, “membina kerajaan” (empire building).
Perwujudannya ialah upaya memperbesar kekuasaannya. Satu teori yang dapat
digunakan untuk menjelaskan perilaku demikian adalah “teori ketergantungan”.
Inti teori ini ialah bahwa semakin banyak orang yang bergantung kepada seorang
pejabat, semakin besar pula kekuasaan pejabat yang bersangkutan.
Cara lain yang tdak jarang digunakan oleh seorang
pejabat pimpinan untuk memperbesar kekuasaannya adalah dengan menggunakm gaya
manajerial yang bersifat mengancam dan punitif. Dengan kata lain menggunakan
gaya kepemimpinan yang otoriter.
Dalam interaksi ekstemal, perilaku seseorang yang
ingin memperbesar kekuasaannya akan mengabaikan sifat pelayanan dalam
menghadapi berbagai kelompok masyarakat yang dilayaninya.
8. Ketakutan
Pada Perubahan, Inovasi dan Risiko
Sering terjadi bahwa rasa takut menghadapi
perubahan, timbul karena pejabat yang bersangkutan sesungguhnya mempunyai
kemampuan kerja yang sangat terbatas, sehingga ia merasa bahwa perubahan yang
terjadi seperti dalam hal reorganisasi, peningkatan pemanfaatan teknologi dan
tuntutan akan pengetahuan dan keterampilan baru akan merupakan ancaman nyata
terhadap kedudukan, jabatan, karir, dan penghasilannya.
Akibat sikap yang tidak inovatif, antara lain adalah
kecenderungm untuk mempertahankan mekanisme, prosedur, dan teknik-teknik yang
sudah lama digunakan, tidak peduli apakah hal-hal tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan
tuntutan
masyarakat dan tuntutan peningkatan produktivitas, efisiensi dan efektivitas
kerja organisasi.
9. Ketidakpedulian
Pada Kritik dan Saran
Pejabat pimpinan penerima kritik dan
saran tidak menutup pintu bagi orang lain untuk menyampaikan sesuatu yang
menurut persepsinya wajar dan layak untuk disampaikan. Apalagi kalau disertai
oleh sikap yang a priori dalam arti
adanya pandangan bahwa kritik atau saran merupakan alat yang digunakan oleh
pihak lain untuk merongrong kekuasaannya.
10. Sifat
Menyalahkan Orang Lain
Seorang pejabat pimpinan yang matang
seharusnya menggunakan gaya kepemimpinan yang terwujud dalam sikap:
“keberhasilan kita adalah karena kemampuan Anda, kekurangan yang ada merupakan
tanggung jawab kita bersama, dan dalam hal kekurangberhasilan atau kegagalan
sayalah yang bertanggung jawab”. Kematangan jiwa seperti itu, akan mempunyai
daya motivasional yang sangat kuat bagi para bawahan karena akan terdorong
untuk bekerja lebih produktif melalui kreativitas dan inovasi yang tinggi.
11. Intimidasi
Intimidasi merupakan salah satu
perwujudan gaya manajerial yang autokratik. Telah umum dimaklumi bahwa pimpinan
yang otoriter selalu menggunakan berbagai bentuk paksaan yang disertai ancaman
untuk menegakkan kekuasaannya.
12. Kurangnya
Komitmen
Apabila komitmen para pejabat
pimpinan tidak bulat dan tidak penuh, berbagai hal negatif dapat timbul dalam
perilakunya seperti disiplin kerja yang rendah, produktivitas kerja yang tidak
tinggi, santai serta kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan yarg dimiliki
karena jabatannya.
3.3
Patologi karena Tindakan melanggar hukum
Telah dimaklumi bahwa setiap negara dewasa ini
mengaku sebagai suatu negara berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan.
Artinya roda negara dikendalikan berdasarkan seperangkat ketentuan hukum yang
sifatnya normatif dan setiap orang terikat dan harus tunduk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan kepada berbagai ketentuan formal lainnya
yang dikeluarkan oleh para pejabat yang berwenang.
Dengan perkataan lain, agar para
anggota birokrasi benar-benar menyelenggarakan fungsi dan memainkan peranannya
dengan baik harus dihindari tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan
melanggar hokum. Berbagai tindakan itulah yang diidentifikasikan dan dibahas
berikut ini:
§ Penggemukkan
Pembiayaan
§ Menerima
Sogok
§ Ketidakjujuran
§ Korupsi
§ Tindakan
Kriminal
§ Penipuan
§ Kleptokrasi
§ Kontrak
Fiktif
§ Sabotase
§ Tata
Buku yang Tidak Benar
§ Pencurian
3.4 Mengembalikan citra agar gejala patologi tidak menyebar
Menghadapi
berbagai gejala empirik patologi dalam birokrasi, sudah saatnya diupayakan agar
birokrasi memiliki ”daya tahan” yang semakin tinggi terhadap berbagai
‘penyakit’ yang menyerangnya. Berbagai perbaikan, bahkan transformasi juga
diperlukan, sehingga gejala patologi yang sudah muncul tidak meluas dan bisa
segera dieliminasi.
Pengembalian citra birokasi ke arah yang ideal, sudah pernah dianjurkan sebelumnya dengan sebutan yang berbeda, seperti: cew public management (Hood), market based public administration (Peters), reinventing government (Osborne dan Gaebler), post bureaucracy (Heckscher dan Donelon) dan rengineering management (Champy).
Pengembalian citra birokasi ke arah yang ideal, sudah pernah dianjurkan sebelumnya dengan sebutan yang berbeda, seperti: cew public management (Hood), market based public administration (Peters), reinventing government (Osborne dan Gaebler), post bureaucracy (Heckscher dan Donelon) dan rengineering management (Champy).
Di
Amerika Serikat sendiri, sewaktu pemerintahan Presiden Bill Clinton,
pengembalian citra birokrasi pernah dilakukan dengan mengurangi jumlah pegawai negeri
di tingkat federal. Bahkan pemerintahan Clinton saat itu sangat tertarik dan
mencoba mengadopsi ide David Osborne dan Ted Gaebler (1992) yang memfokuskan
pada penataan kembali peran birokrasi agar dapat merangsang pertumbuhan sektor
swasta dan masyarakat luas. Menurut mereka, birokrasi harus mempunyai
enterpreneurial spirit yang antara lain, berupa metode baru pemanfaatan sumber
daya dalam rangka memaksimalkan produktivitas dan efektivitas.
Orientasi
birokrasi semestinya juga kembali diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang
memiliki nilai secara cepat, tepat dan dengan biaya yang terjangkau (ekonomis).
Sehingga, kinerja birokrasi dapat mewujudkan efisiensi dan bukan sebaliknya.
Semua unsur pokok birokrasi mengacu pada upaya rasional untuk mengurus
organisasi secara efektif dan efisien. Unsur pokok, menurut Miftah Thoha,
sedikitnya mencakup perlakuan yang sama terhadap semua orang (impersonal),
pengisian jabatan atas dasar keahlian dan pengalaman, larangan penyalahgunaan
jabatan, standar kerja yang jelas, sistem administrasi yang rapi, serta
pengadaan dan pelaksanaan aturan bagi kepentingan organisasi dan mengikat bagi
semua anggotanya.
Aparat
birokrasi tidak dibenarkan melakukan partikularisme (korupsi, kolusi, nepotisme
maupun primordialisme) dalam administrasi kepegawaian ataupun dalam menjalankan
fungsinya sebagai public servant. Perekrutan pegawai yang sebelumnya didasarkan
pada patronage system, spoil system dan nepotisme, sebaiknya segera diubah
dengan merit system atau carier system sehingga terjamin peningkatan mutu,
kreativitas, inisiatif dan efisiensi dalam birokrasi.
Kontrak-kontrak
kerja yang dibuat, apa pun jenisnya, harus dilaksanakan secara transparan,
objektif dan akuntabel. Seperti dengan menenderkan proyek-proyek pembangunan
secara terbuka dan fair agar setiap orang atau perusahaan yang berminat
memiliki kesamaan peluang untuk dinilai kelayakannya dalam melaksanakan proyek
itu. Dengan cara demikian, maka peluang munculnya praktik KKN dan mark up yang
selama ini terjadi dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, akan bisa
dihindari.
Upaya
pemberdayaan masyarakat, melalui pembangunan infrastruktur politik yang
dimaksudkan guna meningkatkan bargainning position masyarakat, termasuk agar
mampu melaksanakan perannya sebagai social control terhadap tindakan-tindakan
birokrasi. Orsospol, LSM, mahasiswa, dan pers hendaknya tetap diberikan
kesempatan menyuarakan ”pesan moral” dan ”budaya malu” terhadap tindakan
birokrat yang tercela.
3.5 Langkah strategis mencegah patologi birokrasi
Kutipan
Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely”
(Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi
secara absolut pula) secara implisit menjelaskan hubungan bagaimana seseorang
yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai kecenderungan untuk menyelewengkan
kekuasannya. Manifestasinya dalam bentuk KKN. Sehingga langkah strategis
pertama yang harus diambil adalah menempatkan para birokrat yang sudah terlalu
lama berkuasa berkecimpung di dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour
of duty). Baik itu rotasi horisontal ataupun promosi vertikal.
Langkah
strategis yang kedua adalah dengan sedini mungkin mengenalkan teknologi
informasi di lingkungan Pemerintah. Yang pertama dengan menghindarkan
interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan pelayan. Hal ini didasarkan
atas asumsi bahwa semakin sering seseorang mengadakan kontak langsung dengan
uang tunai, semakin besar pula kesempatan orang itu untuk mengadakan KKN.
Walaupun katakanlah sudah secara ekspilist diterangkan biaya serta waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan proses pelayanan, akan tetapi praktek di
lapangan akan berbicara lain. Hal seperti ini dapat disiasati dengan
menyediakan mesin.
Contoh
konkret yang mungkin bisa diaplikasikan adalah dengan pengadaan mesin pencetak
perangko ataupun kupon sebagai pengganti uang tunai (stamp vending machine)
seperti yang telah dilaksanakan di Jepang. Maksudnya, setiap formulir aplikasi
permohonan pelayanan hanya butuh sehelai “perangko” ataupun “kupon” bertuliskan
besaran biaya yang dibutuhkan untuk proses penyelesaiannya. Hal ini akan
membawa konsekuensi bahwa seseorang yang bertugas melayani pelanggan tidak akan
disibukkan atau direpotkan dengan urusan uang tunai di sekitar loket mereka.
Mereka hanya akan berkonsentrasi di seputaran urusan administrasi persuratan
saja, tidak ada yang lain. Hal ini cukup efektif dalam menekan angka kolusi di
Jepang yang biasa disebut dalam ungkapan shuden no shita (lengan baju bawah
baju kimono). Dampak seperti inilah diharapkan dapat menekan angka KKN di dalam
proses birikrasi pelayanan publik kita khususnya di Pemerintah Kabupaten
Sleman.
Cara
lain dapat berupa transfer uang di bank dengan sistem online dengan mengadakan
kerjasama antara pihak penyedia layanan (Pemerintah Daerah) dengan pihak bank.
Yang kedua, ditinjau dari sudut pandang pengguna jasa pelayanan, yaitu dengan
memperkenalkan budaya antri yang tersistematis melalui pengadaan mesin antri (queuing
machine). Kenapa budaya antri? Karena masyarakat Indonesia pada umumnya masih
belum menganggap antri sebagai pola atau gaya hidup yang efektif. Sistem ini
telah banyak diaplikasikan di instansi-instansi swasta dan hasilnya-pun cukup
efektif untuk menciptakan suasana yang tertib dan kondusif.
Kemudian
berkenaan dari pihak birokrat sendiri sebagai penyedia monopoli pelayanan
publik, sebagai wujud pertanggungjawaban langsung (direct responsibility)
kepada pengguna jasa layanan, alangkah lebih baiknya apabila di luar loket
pelayanan dipasang nama petugas pelayanan yang bertugas pada hari itu sehingga
langkah strategis ketiga ini diharapkan apabila terjadi ketidakpuasan pelanggan
kepada penyedia jasa layanan akan langsung dapat dicatat nama petugasnya dan
segera bisa ditindaklanjuti.
Ketiga
langkah strategis di atas hanyalah beberapa cara di antara sekian banyak cara
yang dapat ditempuh Pemerintah dalam mengeliminasi tindakan KKN yang sudah
berakar di setiap lini kehidupan bangsa kita. Memang sebenarnya akar dari
tindakan KKN ini tidak terlepas dari belum terpenuhinya kesejahteraan aparatur
negara, kaitannya dengan pendapatan take home pay mereka. Akan tetapi,
berdasarkan penelitian dari The World Bank Development Research Group Public Service
Delivery (Juni, 2001) meragukan mengenai gaji kecil aparatur negara merupakan
alasan untuk melakukan korupsi. Hanya disebutkan disana bahwa merubah struktur
penggajian mungkin suatu bagian yang penting dalam reformasi birokrasi, tapi
seharusnya jangan dilihat sebagai alat utama untuk melawan korupsi.
Kita
bersyukur bahwa RUU Pelayanan Publik yang sedang digodok di DPR saat ini
merupakan bentuk political will dari pihak Pemerintah dan DPR dalam
mengakomodasi hak serta kewajiban baik untuk birokrat maupun masyarakat. Dan
juga dengan naiknya gaji PNS mulai awal tahun depan diharapkan dapat
mendongkrak semangat aparatur negara untuk lebih giat dan semangat dalam
melayani publik sesuai dengan fungsi pamong projonya.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari
perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari
patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih
berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan
prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas
hak-hak dari otoritas dan status.
Red Tape merupakan awal kemunculan dari sebuah Patologi ini.
Red Tape disebabkan adanya kecenderungan alami yang terjadi di dalam tubuh dan
para birokrat yang tercetak dari rutinitas kegiatan mereka sendiri. Birokrasi
yang semestinya lebih memper-efisien-kan proses malah semakin berbelit-belit
karena para birokrat terlalu “patuh” pada prosedur yang ada. Jenis dari
Patologi Birokrasi selain Red Tape yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme, tidak
adanya akuntabilitas, pertanggung jawaban formal, dan lain sebagainya.
Negara Berkembang Lebih Mudah
Terinfeksi. Negara berkembang bisa dikatakan sebagai pusat dari Patologi Birokrasi.
Negara-negara berkembang menghadapi ancaman patologi birokrasi, yaitu birokrasi
yang cenderung mengutamakan kepentingan sendiri, terpusat, dan mempertahankan
status quo. Patologi birokrasi juga menyebabkan birokrasi menggunakan
kewenangannya yang besar untuk kepentingan sendiri.
Di Negara dan
pemerintahan manapun, para anggota birokrasi disebut sebagai abdi Negara dan
abdi masyarakat. Dengan predikat demikian, mereka diharapkan dan dituntut
menampilkan perilaku yang sesuai dengan peranannya selaku abdi tersebut.
Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan kepada
seluruh masyarakat. Karena penerapan prinsip fungsionalisasi, spesialisasi dan
pembagian tugas, sudah barang tentu terdapat bagian masyarakat yang menjadi
“clientele” suatu instansi tertentu. Sebagai prinsip dapat dikatakan bahwa
pelayanan yang diberikan oleh birokrasi kepada para klientelenya harus bersifat
adil, cepat, ramah dan tanpa diskriminasi. Karena itu, ungkapan yang mengatakan
bahwa para pegawai negeri adalah untuk melayani dan bukan untuk dilayani,
hendaknya terwujud dalam praktik administrasi Negara sehari-hari, sebab apabila
tidak ada, ungkapan tersebut hanya akan menjadi slogan tanpa makna.
Dengan
kata lain, teramat parting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi
menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan peranannya selaku abdi negara dan
abdi masyarakat.
Dari
segi inilah, penting dipahami patologi birokrasi yang ber-sumber dari
keperilakuan. Pemahaman perilaku dalam kaitannya dengan patologi birokrasi,
mutlak perlu disoroti dari sudut pandang etos kerja dan kultur organisasi yang
berlaku dalam suatu birokrasi tertentu. Telah dimaklumi bahwa kultur organisasi
suatu birokrasi tak bisa dilepaskan dari kultur sosial di masyarakat luas.
Kultur organisasi parting dipahami karena berperan, antara lain sebagai alat
pengendali perilaku para anggota birokrasi pemerintahan. Dikatakan demikian,
karena organisasi turut menentuk;m apa yang baik dan tidak baik, yang boleh dan
dilarang, hal-hal yang dipandang wajar dan yang tidak wajar. Agar diakui dan
diterima sebagai anggota birokrasi yang baik, perilaku yang dituntut
daripadanya adalah yang sesuai dengan kultur yang dianut oleh organisasi yang
bersangkutan.
Dari sifat inilah, lahir nepotisme, penyalahgunaan wewenang,
korupsi dan berbagai penyakit birokrasi yang menyebabkan aparat birokrasi di
negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat hal-hal
perlu diperhatikan, sebagai berikut:
1.
Patologi
Birokrasi harus diobati dengan Aturan, System dan Komitmen pengelolaan yang
berorientasi "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan
menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana,
bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk
segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang
dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.
2.
Penguatan
kelembagaan untuk meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini
ditujukan pada pelayanan publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang
berbasis pada pelayanan administrasi dokumen.
3.
Peningkatan
kualitas pelayanan publik diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang
tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya.
4.
Selain
kepemimpinan dan tim yang tangguh, peningkatan pelayanan publik juga
dipengaruhi oleh aspek kejelasan dan kepastian proses pelayanan seperti
prosedur (mekanisme), biaya, hasil yang diperoleh dan waktu.
5.
Sumber
daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan
yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi
kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya
yang harus dimiliki terlebih dahulu.
Prof.
Dr. Sondang P Siagian. 1994. Patologi Birokrasi. Analisis, Indentifikasinya dan
terapinya. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Miftah Thoha.2003. Birokrasi dan
Politik di Indonesia. Penerbit Raja Grafindo. Jakarta.
SC
Dube dan Fred W. Riggs dalam buku Elite dan Modernisasi. 1989.
Penyunting Aidit Alwi. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Peter
M. Blau dan Marshall W. Meyer.2000. Birokrasi dalam Masyarakat Modern.
Penerbit Pustakaraya. Jakarta.
Nazaruddin
Sjamzudin. 1993. Dinamika Sistem Politik Indonesia. Penerbit Gramedia.
Jakarta.
Syarief
Makhya. 2004. Ilmu Pemerintahan:Telaahan Awal. Jurusan Ilmu
Pemernitahan
Fisip Unila. Lampung. Buku ajar.
David
Osborne dan Ted Gabler. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. Penerbit Pustaka
Binawan Presindo. Jakarta.
Syafuan
Rozi Soebhan. 2000. Model Reformasi Briokrasi di Indonesia. LIPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar