Desa
merupakan sebuah pemerintah terdepan yang berhadapan langsung dengan masyarakat
dan menjalankan fungsi pemerintah secara riil di lapangan. Dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama
lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya
otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan
ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintah tertentu.
Artinya desa
mempunyai kekuatan hukum yang kuat dalam menjalankan fungsi pemerintah dan
menjalankan konstitusi dalam melayani masyarakat. Dengan demikian desa harus
mendapatkan perhatian khusus dalam pembangunan dan pelayanan serta
pemberdayaan. Dengan adanya otonomi desa yang diberikan oleh pemerintah
diharapkan akan menumbuhkan jati diri desa yang sebenarnya dan yang diundangkan
dalam konstitusi.
Sejarah
Pemerintahan Desa
1.
Peraturan desa dimasa pemerintahan
kolonial Belanda
Berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, tata cara pemerintahan desa telah
mengalami beberapa kali perubahan sejak zaman pemerintahan Belanda hingga
sekarang. Peraturan tentang pemerintahan desa yang resmi berlaku di Indonesia
ialah sejak terbitnya Inlandse Gemeente
Ordonantie (IGO) tahun 1906, yaitu peraturan dasar menyangkut pemerintahan
desa.
Menurut
Saparin (1986:31) bahwa :
“Sebagai peraturan desa (pranata)
tentang pemerintahan desa IGO/s 83 Tahun 1906 yang berlaku untuk Jawa dan
Madura dan IGOB/s 490 Tahun 1938 untuk daerah di luar Jawa dan Madura merupakan
landasan pokok bagi ketentuan-ketentuan tentang susunan organisasi, rumah
tangga dan tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang pemerintah desa, kepala
desa, dan anggota pamong desa.
Penjelasan
diatas menunjukkan bahwa terdapat 2 ketentuan dasar yang menyangkut
pemerintahan desa IGO untuk Jawa dan Madura dan IGOB untuk di luar Jawa dan
Madura.
Pasal
1 Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO)
1906 Staatblad Nomor 83 menyatakan : “Penguasaan Desa dijalankan oleh Kepala
Desa dibantu beberapa orang yang ditunjuk olehnya, mereka bersama-sama menjadi
Pemerintah Desa”.
Ketentuan
di atas adalah yang pertama berlaku di Negara kita yang waktu itu dibawah
kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda menyangkut Kelembagaan Pemerintahan
Desa, Kepala Desa dipilih langsung oleh masyarakat yang pelaksanaannya diatur
dengan ketentuan Bupati.
Selanjutny
IGO menetapkan bahwa Kepala Desa dibantu oleh beberapa orang yang “ditunjuk
olehnya”. Pengertian ditunjuk olehnya dijelaskan pada Pasal 2 ayat 2 IGO STBL
No. 83 yang berbunyi : “Tentang mengangkat atau melepas anggota-anggota
Pemerintahan Desa, kecuali Kepala Desa, diserahkan pada adat kebiasaan pada
tempat itu”.
Demikianlah
secara institusional atau kelembagaan Pemerintahan Desa terdiri dari Kepala
Desa dan beberapa orang yang ditunjuk oleh adat kebiasaan. Meurut Bayu
Suryaningrat (1976:69): “Meskipun pasal 1 kelihatannya kabur mengenai siapa
yang menjadi Pemerintah Desa, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemerintah
Desa bersifat satu orang.
Disamping
itu pengaturan tentang Pemerintah Desa kemudian oleh Pemerintah Belanda
diterbitkan Inlandse Gemeente Ordonantie
Buiten Gewesten (IGOB) tahun 1938 yang berlaku di luar Jawa dan Madura.
2.
Peraturan desa dimasa Pendudukan
Militer Jepang
Sejak
pendudukan Militer Jepang penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Indonesia
sedikit mengalami perubahan. Bayu (1976:60) mengutip Undang-Undang No. 1 Tahun
1942 Pasal 2 berbunyi : “ Pembesar Balatentara Dai Nipon memegang kekuatan
pemerintahan militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu ada
di tangan Gubernur Jenderal”. Pasal 3 : “ Semua badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hokum dan Undang-Undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui
sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan
pemerintahan militer”.
Dengan
demikian, ternyata pendudukan militer Jepang tidak mengubah secara mendalam
ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan pemerintahan sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan militernya.
3.
Peraturan desa dimasa masa
kemerdekaan indonesia hingga kini
Pemberlakuan
peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Desa pada esensinya tidak
banyak mengalami perubahan sejak pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan
militer Jepang dan masa Indonesia sebelum tahun 1979. Pandangan ini didasarkan
atas fakta-fakta sejarah sebagai berikut :
a.
IGO dan IGOB berlaku efektif 1906-1942
b.
UU No. 1 Tahun 1942 dan Osamu Seirei
(1942-1945), secara substantive tetap memberlakukan IGO atau IGOB
c.
1945 – UU No.5 Tahun 1979.
Dalam kurun waktu yang relatif panjang, IGO maupun
IGOB secara tidak resmi tetap di pakai sebagai rujukan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa sampai terbitnya UU No.5 Tahun 1979, melihat kenyataan itu
terkesan bahwa Pemerintah Republik Indonesia seperti tidak mampu membuat
peraturan Pemerintahan Desa sendiri.
Kemudian dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1979
merupakan berkat tersendiri bagi masyarakat bangsa yang sudah merdeka lebih
dari 33 tahun. Harapan utnuk menciptakan kepastian hukum dalam penyelenggaran
Pemerintahan Desa serta upaya efisiensi dan efektivitas tata laksana
Pemerintahan Desa terjawab dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979 tersebut.
Waktu dan zaman tetap bergulir, harapan dan aspirasi
terus berubah agar dapat menjadi lebih baik. Era reformasi melahirkan ketentuan
baru dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan keluarnya UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah sekaligus mengatur penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.Hingga pada akhirnya pada tanggal 15 Oktober 2004 diterbitkan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang juga sekaligus mengatur
Pemerintahan Desa. Dan kemudian
dilakukan perubahan di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan
bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari
perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun
dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan. Kewenangan
desa adalah:
·
Menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa
·
Menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan
pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.
·
Tugas pembantuan dari
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
·
Urusan pemerintahan
lainnya yang diserahkan kepada desa.
Berdasarkan peraturan pemerintah republik indonesia
nomor 72 tahun 2005 tentang desa, Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat
dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa sebagaimana dimaksud pada
ayat harus memenuhi syarat :
1.
jumlah penduduk;
2.
luas wilayah;
3.
bagian wilayah kerja;
4.
perangkat; dan
5.
sarana dan prasarana pemerintahan
Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa
desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi
dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.
Pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih dapat dilakukan setelah
mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan desa. Desa
yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi memenuhi persyaratan dapat
dihapus atau digabung. Dalam wilayah desa dapat dibentuk Dusun atau sebutan
lain yang merupakan bagian wilayah kerja pemerintahan desa dan ditetapkan
dengan peraturan desa. Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas
Pemerintah Desa (yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD).
Kepala Desa
Kepala
Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun, dan
dapat diperpanjang lagi untuk satu kali masa jabatan. Kepala Desa juga memiliki
wewenang menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD. Kepala
Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) oleh penduduk desa setempat. Syarat-syarat
menjadi calon Kepala Desa sesuai Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 sbb:
1.
Bertakwa kepada Tuhan
YME
2.
Setia kepada Pacasila
sebagai dasar negara, UUD 1945 dan kepada NKRI, serta Pemerintah
3.
Berpendidikan paling
rendah SLTP atau sederajat
4.
Berusia paling rendah
25 tahun
5.
Bersedia dicalonkan
menjadi Kepala Desa
6.
Penduduk desa setempat
7.
Tidak pernah dihukum
karena melakukan tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5 tahun
8.
Tidak dicabut hak
pilihnya
9.
Belum pernah menjabat
Kepala Desa paling lama 10 tahun atau 2 kali masa jabatan
10. Memenuhi syarat lain yang diatur Perda Kab/Kota
Perangkat Desa
Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perangkat Desa terdiri dari Sekretaris Desa
dan Perangkat Desa Lainnya. Salah satu perangkat desa adalah Sekretaris
Desa, yang diisi dari Pegawai Negeri
Sipil. Sekretaris Desa diangkat oleh
Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota. Perangkat Desa
lainnya diangkat oleh Kepala Desa dari penduduk desa, yang ditetapkan dengan
Keputusan Kepala Desa. perangkat desa juga mempunyai tugas untuk mengayomi
kepentingan masyarakatnya.
Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan
berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan
tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun
dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala
Desa dan Perangkat Desa. BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa
yang menjadi kewenangan desa didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APB Desa), bantuan pemerintah dan bantuan pemerintah daerah. Penyelenggaraan
urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari
APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang diselenggarakan oleh pemerintah
desa Sumber pendapatan desa terdiri atas:
·
Pendapatan
Asli Desa, antara lain terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa
(seperti tanah kas desa, pasar desa, bangunan desa), hasil swadaya dan
partisipasi, hasil gotong royong
·
Bagi
hasil Pajak Daerah Kabupaten/Kota
·
bagian
dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
·
bantuan
keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;
·
hibah
dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
·
Pinjaman
desa
APB Desa terdiri atas bagian Pendapatan Desa,
Belanja Desa dan Pembiayaan. Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah
perencanaan pembangunan desa. Kepala Desa bersama BPD menetapkan APB Desa
setiap tahun dengan Peraturan Desa.
Hubungan Kerja
Pemerintah Desa
1.
Hubungan kerja Kepala Desa dengan
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Hubungan
kerja Kepala Desa dengan BPD, dilakukan melalui pengertian dan kedudukan, tugas
dan fungsi serta kemampuan melaksanakan tugas dan funsi tersebut.
Tugas
dan fungsi Kepala Desa dalam UU NO. 32 Tahun 2004 tidak merinci apa saja yang
menjadi tugas dan fungsinya tersebut, tetapi menekankan supaya di atur lebih
lanjut oleh Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota berdasarkan Peraturan
Pemerintah. Secara umum dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi Kepala Desa
adalah :
a.
Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan
Desa
b.
Membina kehidupana masyarakat desa dalam
arti sosial dan ekonomi
c.
Memelihara kehidupan yang harmonis di
tengah-tengah masyarakat desa
d.
Mewakili desa dalam beberapa peristiwa
hokum dan atau menunjuk kuasa hukumnya.
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) yang anggota-anggotanya merupakan wakil dari
penduduk desa yang di tetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat, berfungsi
menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat. (Pasal 210 ayat 1 dan Pasal 209 UU No. 32 Tahun 2004).
Kedudukan
Kepala Desa dan BPD dapat dikatakan. Pertama,
sebagai pihak yang bermitra kerja dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, karena BPD bersama Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa. Di samping itu,
Kepala Desa memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, BPD secara
institusional mewakili penduduk desa bertindak sebagai pengawas terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Di sisi lain adanya fungsi BPD untuk menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. Kedua,
Kepalas Desa bertanggung jawab kepada penduduk desa melalui BPD dalam arti
cultural dan etika.
Selanjutnya
mengenai kemampuan melaksanakan tugas dan fungsi dapat dikatakan sebagai
pelengkap dalam harmonisasi atau disharmonisasi hubungan kerja.
Hubungan
kerja dalam mekanisme kemitraan mengenai penetapan Peraturan Desa, pada
kelaziman umum, tedapat kondisi penyusunan rencana perundang-undangan dapat
dilaukuka oleh sala satu pihak, namun yang prinsip-prinsip rancangan Peraturan
Perundang-undangan wajib mendapat persetujuan dari pihak lain sebagai mitra
yang dtentukan. Hal yang sama berlaku dalam mekanisme peyusunan dan pengesahan
Rancangan Peraturan Desa. Rancangan Peraturan Desa dapat dibuat oleh Kepala
Desa atau BPD dan mendapat pengesahan dari salah satunya.
Dinamika
penetapan peraturan desa pada umumnya dapat terlaksana sesuai harapan walaupun
melalui beberapa ketegangan akibata adanya tuntutan perubahan dan perbaikan
naskah atau materi yang diusulkan, dan gal itu adalah suatu kewajaran. Ketegangan
yang sesungguhnya terjadi apabila Peraturan Desa dilaksanakan dengam Keputusan
kepala Desa.
Hubungan
kerja BPD, secara institusional mewakili penduduk desa, bertindak sebagai
pengawas terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa. Obyek-obyek pengawasan dapat
berupa implementasi Peraturan Desa, mekanisme pelayanan masyarakat,
operasionalisasi pemerintahan secara umum dan pelaksanaan program pembangunan
desa. Pekerjaan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat sesungguhnya
merupakan fungsi namun dalam aplikasi penyaluran aspirasi tersebut diperlukan
kerja kemitraan. Kemitraan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa antara
Kepala Desa dan BPD adalah suatu keniscayaan. Bagaimana mungki aspirasi
masyarakat dapat terwujud jika tidak dibarengi dengan kesungguhan dan tekad
yang tinggi dari semua unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. BPD menjembatani
antara aspirasi yang tumbuh, Kepala Desa operator aspirasi dan BPD secara
berkelanjutan memotivasi tumbuhnya aspirasi, terwujudnya aspirasi menuju
peningkatan partisipasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan.
Pertanggungjawaban
Kepala Desa secara normatif, UU No 32 tahun 2004 tidak mengatur tentang
pertanggungjawaban tersebut, tetapi secara etika dan cultural,
pertanggungjawaban Kepala Desa adalah hal pokok terutama dalam membangun
“TRUST’ dan peningkatan pemberdayaan .
Semenjak
adanya otoritas formal ditingkat desa dalam bentuk institusi pemerintahan desa,
Kepala Desa selalu lahir sebagai hasil pemilihan langsung oleh penduduk desa.
Oleh karena itu wajar apabila Kepala Desa melaporkan kinerja yang telah
dicapainya kepada penduduk yang memilihnya /.
Sebagai
pemimpin yang terpilih, tampilan Kepala Desa adalah sosok kebapakan yang
terbuka apalagi dalam lingkungan masyarakat gemeinschaft,
rasa tanggung jawab merupakan hal yang di junjung tinggi, pemimpin lah yang
pertama-tama harus bertanggung jawab terhadap kelompok yang dipimpinnya .
2.
Hubungan Kerja Kepala Desa dengan
Perangkat Desa
Hubungan
kerja ini bersifat hirarkhis, acuanya adalah norma umum bahwa Kepala Desa ialah
pemimpin bagi terselenggaranya Pemerintahan Desa. Dalam bagan organisasi dalam
halaman sebelumnya telah menggambarkan ketentuan itu.
Tentang hubungan kerja
antara Kepala Desa dengan Perangkat Desa yang bersifat hierarkis merupakan
hubungan kerja atasan dengan bawahan melalui pembagian tugas Kepala Desa
sebagai pimpinan dalam menyelenggarakan Pemerintah Desa dan Perangkat Desa
sebagai pelaksana yang membantu Kepala Desa. Dalam benuk yang lebih konkrit
hubungan tersebut berupa :
1.
Kepala Desa sebagai pimpinan bertugas dalam pengambilan
keputusan, pemberi arahan dan motivasi serta keteladanan. Sedangkan Perangkat
Desa sabagai bawahan melaksanakan keputusan yang telah diambila Kepala Desa
serta memperhatikan arahan dan keteladana yang telah dibelikan.
2.
Hubungan kerja selanjutnya akan muncul
dalam layanan administrasi, keuangan kepegawaian (personalia) peralatan dan
tata surat menyurat bagi sekertaris desa.
Untuk
urusan pelaksanaan teknis lapangan terwujud pekerjan menyangkut kebutuhan
teknis masyarakat seperti pertanian, pemukiman atau masalah ketentraman dan
ketertiban. Sedangkan hubungan kerja dengan Kepala Dusun sebagai pembantu
Kepala Desa di bidang kewilayahan terfokus dalam bentuk pengkoordinasian
tugas-tugas Rukun Tetangga/Rukun Warga dan tugas-tugas perwakilan Kepala Desa
di setiap Dusun yang ada.
3.
Hubungan Kerja Kepala Desa dengan
Lembaga Adat dan Lembaga Kemasyarakatan
Salah
satu tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah memelihara kehidupan yang harmonis
di tengah-tengah masyarakat desa. Bentuk tugas itu secara tradisonal umpamanya
telah diperankan dengan baik seperti mendamaikan perselisihan di desa.
Kedekatan hubungan Kepala Desa dengan Lembaga-lembaga Adat, hasilnya banyak
persoalan yang dapat diatasi. Bantuan Lembaga Adat bersifat informal dalam arti
tidak mengikat Kepala Desa, tetapi dalam keseharian Kepala Desa tetap berhutang
secara moral, karena para pemimpin adat sangat dihormati asyarakatnya melebihi
penghormatannya daripada kepada jabatan-jabatan formal. Hubungan kerja Kepala Desa
dengan lembaga adat ini menguntungkan dalam praktek pemerintah, persoalan
tergantung kepada desa bagaimana membina hubungan yang harmonis, wajar dan
solid.
Di
desa ada lembaga kemasyarakatan yang pada esensinya membantu Pemerintah Desa
dalam menggerakan pembangunan dan partisipasi. Hubungan kerja Kepala Desa
dengan lembaga lembaga ini bersifat kemitraan tetapi inisiatif dan prakarsa
yang harus lebih dlu muncul adalah dari Kepala Desa tentang bagaimana
menghidupkan perekonomian masyarkat di desa. Peraturan Perundang-undangan yang
ada sangat mendukung dan member peluang yang besar bagi Pemerintah Desadi
bidang ekonomi dna pembangunan.
Pasal
211 dan Pasal 215 menegaskan hubungan kemitraan Kepala Desa dengan Lembaga
Kemasyarakatan serta pasal yang disebut terakhir mengisyaratkan
kemungkinan-kemungkinan berkembangnya perekonomian desa tersebut. Jika
perekonomian masyarakat desa timbul semakin kuat, aktivitas pembangunan desa
semakin lancar. Selanjutnya lembaga kemasyarakatan dapat menjembatani
masyarakat dengan pemerintah desa untuk pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat sendiri.
Pada
masyarakat Negara berkembang seperti di Indonesia, hal yang penting dalam
setiap dan segala strategi mobilisasi peran serta dan meningkatkan
efektivitasnya adalah perhatian yang mendalam untuk memberikan motivasi pada
masyarakat supaya mereka melibatkan diri dalam kehidupan suatu proyek atau
pembangunan (Bryant & White, 1982:292). Artinya bahwa Kepala Desa dengan
bantuan lembaga kemasyrakatan dapat memotivasi masyarakat untuk terlibat dalam
proyek-proyek pembangunan yang bertujuan, mewujudkan kesejahteraan di desa.
Macam-macam desa di Indonesia:
1.
Desa Otonom
Desa
otonom adalah desa-desa yamg merupakan subyek-subyek hukum, artinya dapat
melakukan tindakan-tindakan hukum. Tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan
antara lain:
a.
Mengambil keputusan atau membuat
peraturan yang dapat mengikat semua warga desa atau pihak tertentu, sepanjang
menyangkut penyelenggaraan rumah tangganya.
b.
Menjalankan pemerintahan desa.
c.
Memilih Kepala Desanya
d.
Memiliki harta benda dan kekayaan diri
e.
Memiliki tanah sendiri
f.
Menggali dan menetapkan sumber-sumber
keuangan sendiri
g.
Menyusun anggaran penerimaan dan
pengeluaran keuangan Desa ( APPKD )
h.
Menyelenggarakan gotong royong
i.
Menyelenggarakan peradilan desa
j.
Menyelenggarakan usaha lain demi
kesejahteraan masyarakat desa.
Unsur-unsur
otonomi desa yang penting antara lain :
a.
Adat tertentu yang mengikat dan ditaati
oleh masyarakat (di) desa bersangkutan
b.
Tanah, pusaka, dan kekayaan desa
c.
Sumber-sumber pendapatan desa
d.
Urusan rumah tangga desa
e.
Pemerintah desa yang dipilih oleh dan
dari kalangan masyarakat desa yang bersangkutan, yang sebagai alat desa
memegang fungsi “mengurus”
f.
Lembaga atau badan “perwakilan” atau
musyawarah, yang sepanjang penyelenggaraan urusan rumah tangga desa memegang
fungsi “mengatur”.
Ada
beberapa hal yang dapat menyebabkan hilangnya hak-hak dan kewenangan dari
otonomi desa, hal ini biasanya disebabkan oleh:
1.
Penduduk suatu desa semakin heterogen
sehingga sukar ditentukan, hukum adat mana yang dapat berlaku di dalam
masyarakat yang bersangkutan
2.
Aspek-aspek kehidupan masyarakat yang
selama ini (cukup) diselenggarakan oleh desa, oleh satu dan lain alasan
berdasarkan ketentuan yang lebih tinggi, diselenggarakan oleh pemerintah yang
lebih atas
3.
Kegiatan ekonomi sekunder dan tersier
semakin besar, sehingga diperlukan penataan kembali terhadap tata ruang fisik
dan tata masyarakat desa yang bersangkutan menurut norma-norma yang lebih
tinggi
4.
Sumber-sumber pendapatan desa “diambil
alih” oleh pemerintah yang lebih atas.
Note:
bukudimensi-dimensi pemerintahan desa,drs taliziduhu ndraha halaman 17-19
2.
Desa Administratif
Desa administratif atau desa dinas tidak hanya
dijumpai di dalam wilayah perkotaan seperti daerah khusus ibukota
jakarta,kotamadya-kotamadya di jawa barat, jawa tengah, dan jawa timur,
melainkan terdapat di wilayah-wilayah pedesaan tertentu. Sebagai contoh ialah
irian jaya dan bali.
Desa-desa di Irian Jaya dibentuk
berdasarkan keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya tanggal 2
februari 1974 nomor 20/GIJ/1974. Menurut keputusan itu, desa, gabungan dari
beberapa kampung yang telah ada, merupakan wilayah pemerintahan terendah yang
adalah bagian administratif daripada wilayah kecamatan yang bersangkutan, dan
disebut desa administratif.
Sebutan desa administratif untuk
Irian Jaya tidak ada sangkut-pautnya dengan peralihan bobot otonomi desa.
Sebelumnya tidak ada yang berbentuk desa di Irian Jaya dan juga tidak ada
otonomi desa seperti yang dikenal didaerah lainnya. Masyarakatnya amat
terbelakang dan tingkat kehidupan amat rendah. Masyarakat tidak mampu
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri menurut tuntutan zaman modern. Inilah
latar belakang sebutan desa administratif di Irian Jaya.
Berikut ini merupakan ciri-ciri dari
desa administratif :
1.
Desa dinas mempunyai wilayah tertentu
dan merupakan bagian dari kecamatan yang ditetapkan oleh pemerintah
2.
Warga desa dinas adalah semua penduduk
desa yang bersangkutan
3.
Pimpinan/ kepala desa dinas disebut
Perbekel, dibantu oleh juru tulis dan
kelian-kelian dinas yang memegang wilayah bagian dari desa, yang disebut banjar
( pedukuhan)
4.
Masa jabatan kepala desa dan kelian
dinas adalah 5 tahun
5.
Fungsi desa dinas adalah dalam lapangan
pemerintahan umum, kecuali adat dan agama, sedangkan pengairan/pertanian
dikelola oleh subak
6.
Dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa
bertanggung jawab langsung kepada Camat
7.
Rapat desa disebut samgkepan desa; semua
persoalan dimusyawaratkan di dalam rapat itu
8.
Nafkah pimpinan desa diatu oleh Gubernur
Kepala Daerah dalam honorarium, dibiayai dari APBD tingkat I dan II.
Note:
bukudimensi-dimensi pemerintahan desa,drs taliziduhu ndraha halaman 19-21
3.
Desa Adat
Desa
adat yaitu suatu desa yang memiliki perbedaan status, kedudukan dan fungsi
dengan desa dinas (desa administratif pemerintahan). Baik yang ditinjau dari
segi pemerintahan maupun dari sudut pandangan masyarakat. Desa adat ialah desa
dari fungsinya dibidang adat (desa yang hidup secara tradisional sebagai
perwujudan dari lembaga adat)”. Sedang Desa pada umumnya dilihat dari fungsinya
di bidang pemerintahan merupakan lembaga pemerintah yang paling terbawah dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah. ciri desa adat sebagai berikut (Pitana,
1994:145) :
·
Mempunyai batas - batas tertentu yang jelas. Umumnya berupa
batas alam seperti sungai, hutan, jurang, bukit atau pantai.
·
Mempunyai anggota (krama yang jelas),dengan persyaratan
tertentu
·
Mempunyai suatu pemerintahan adat, dengan kepengurusan
(prajuru adat) sendiri
·
Peraturan desa di ambil dari hukum adat dan norma-norma
sosial yang berlaku di desa tersebut.
·
Lebih bersifat monarki dalam kepemimpinan.
.