Separatisme
adalah suatu bentuk keinginan memisahkan diri dari suatu entitas yang sifatnya
lebih besar yang memiliki legitimasi kekuasaan. Bentuknya bisa jadi
negara/pemerintahan. Nah, separatisme dari sudut pandang konflik sosial adalah satu
bentuk konflik. Jadi penyebabnya timbulnya Separatisme adalah sebagian dari
penyebab timbulnya konflik sosial secara umum. Jika kita coba klasifikasi,
hal-hal dibawah ini bisa jadi merupakan akar terjadinya separatime :
1. Penguasaan
Sumber Daya Sumber daya di bisa
berarti SD Alam, Wilayah. Beberapa separatisme yang terjadi di Indonesia
terjadi diawali dengan ketidakpuasan suatu kelompok terhadap pengelolaan SD
yang ada di wilayahnya oleh penguasa yang ada.
2. Perbedaan
cara pandang dalam pengelolaan kekuasaan
Ada kelompok yang cenderung ingin memisahkan diri karena ingin membentuk pemerintahan dengan sistem sendiri (bentuk maupun idiologinya.
Ada kelompok yang cenderung ingin memisahkan diri karena ingin membentuk pemerintahan dengan sistem sendiri (bentuk maupun idiologinya.
3.
Adanya kesadaran yang bersifat etnis/ldiologis
sebagai pemilik sah suatu wilayah. Contohnya suatu etnis
asli di suatu daerah, yang kemudian merasa bahwa dirinya berhak berdiri sebagai
sebuah bangsa merdeka bebas dari Pemerintah atau bergabung ke negara lain
karena kedekatan etnis maupun religi.
suatu
gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok
manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama
lain (atau suatu negara lain). Istilah ini biasanya tidak diterima para
kelompok separatis sendiri karena mereka menganggapnya kasar, dan memilih
istilah yang lebih netral seperti determinasi diri.
Pada
masa kejayaannya, nasionalisme tampak begitu kuat mengakar dalam berbagai
lapisan masyarakat di Indonesia. Ini dapat dengan mudah terlihat dalam berbagai
ungkapan ‘bangsa-ku, negeri-ku, yang ku cinta’ atau ‘demi kehidupan berbangsa
dan bernegara’, sebagaimana muncul hampir dalam setiap percakapan sehari-hari
hingga dialog resmi kenegaraan. Memaknai Indonesia, dalam konteks nasionalisme,
merupakan sebuah kesatuan antara bangsa (nation) sekaligus negara (state) (Dhakidhae,
2001: v). Di dalamnya terdapat sebuah solidaritas negara-bangsa (nation-state)
dari susunan beraneka solidaritas suku-bangsa (ethnic). Sebuah misteri besar di
balik bersatunya beraneka entitas kultural yang sangat heterogen dalam sebuah
payung yang bernama negara-bangsa Indonesia, menjadi hal yang biasa saja dalam
kehidupan nasional. Slogan “bhineka tunggal ika”, tampaknya menjadi adagium
pamungkas yang mampu mereduksi semua perbedaan tersebut.
Namun,
munculnya berbagai konflik sosial pada era 1990-an, tampaknya menjadi sebuah
titik balik perjalanan nasionalisme di Indonesia. Setelah berjaya hampir
setengah abad di bumi nusantara pasca kemerdekaannya, nasionalisme Indonesia
seakan-akan runtuh begitu saja tanpa sisa. Rasa kebanggaan sebagai sebuah kesatuan
bangsa Indonesia tampaknya menghilang, tergerus oleh gelombang semangat
kesukuan dan kedaerahan yang tengah menggelora di sejumlah wilayah. Ikatan
kebangsaan Indonesia menjadi tidak begitu berarti, dan tenggelam oleh sentimen
etnis yang sangat kental. Munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama, dan
ras (SARA) di Kalimantan, Maluku, dan Poso, hingga gerakan pemberontakan lokal
radikal di Timor Timur, Aceh, Maluku Selatan, dan Papua tampaknya menjadi bukti
nyata rasa kebangsaan yang memudar dan sekaligus sebagai ancaman terhadap
eksistensi Indonesia sebagai kesatuan entitas dalam sebuah negara-bangsa.
Wacana separatisme kultural yang anti-nasionalisme Indonesia menjadi fenomena
sekaligus pertanyaan yang terus membayang. Mungkinkah, nasionalisme Indonesia
telah berakhir?
Contoh
gerakan separatisme di Indonesia modern adalah
·
Republik Maluku Selatan
·
Gerakan Aceh Merdeka
·
Organisasi Papua Merdeka
Sifat
dan sikap ini seperti yang disebutkan diatas muncul akibat perbedaan visi dan
misi serta rasa ketidakpuasan terhadap program dan apa yang menjadi tujuan
pemerintah yang sah, dan separatis ini biasanya sudah menyentuh ke Ranah
Politik. Ada beberapa contoh gerakan yang disebut oleh Pemerintah Indonesia
sebagai gerakan sparatis yaitu Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi
Papua Merdeka (OPM), Kedua gerakan ini seperti tumbuh subur dan merajalela yang
mengesankan kurangnya perhatian pemerintah untuk menangani secara serius.
Gerakan separatisme mereka ditunjukkan salah satunya dengan cara tarian
cakalele dan mengibarkan bendera RMS, dan hal ini disaksikan sendiri oleh
presiden RI Bpk Susilo Bambang Yudhoyono (mungkin bisa dikatakan kurang siapnya
antisipasi oleh aparat dan panitia) yang sedang menghadiri perayaan Harganas,
pada tanggal 29 Juni 2007. Kemudian disusul dengan pengibaran bendera Bintang
Kejora yang dilakukan oleh para narapidana politik Organisasi Papua Merdeka
(OPM) di penjara Abepura dalam perayaan hari ulang tahun OPM tanggal 1 Juli.
Dilihat
dari segi alasan umum pasti adalah rasa ketidakpuasan dan rasa kecemburuan
sosial antar daerah (disini dalam konteks kesenjangan antara kemajuan dan
kesejahteraan pusat pemerintahan dengan daerah lainnya). Namun kalau dilihat
alasan masing-masing gerakan separatisme yang ada mempunyai alasan tertentu dan
visi tertentu sesuai dengan apa yang selama ini mereka perjuangkan. Rasa
ketidakpuasan ini wajar dengan melihat lebih kedalam performansi pemerintah
selama ini yang membuahkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja
aparaturnya.
Yang
perlu diingat sistem dalam bernegara tidaklah salah, justru yang salah adalah
moral dan mental aparaturnya yang rusak, walau tidak semuanya seperti itu namun
lebih banyak yang seperti itu daripada yang tidak. Hal ini memang tidak mudah
untuk diselesaikan dalam waktu singkat karena menyangkut moral sumber daya
manusia itu sendiri. Dari sisi pemerintah sendiri solusinya bisa dengan mencari
benang merah akar permasalahan timbulnya gerakan ini, untuk hal ini dirasa
mungkin sudah jelas dari sisi pemerintah adalah masalah Korupsi yang merajalela
adalah salah satu faktor utama kenapa negara tidak bisa maju dan ini kembali ke
SDM atau aparatnya lagi.
Dan
masyarakat menilai pemerintah tidak tegas atau masih tebang pilih dalam
memberantas korupsi, masalah lain adalah tingkat kesadaran aparat untuk tulus
dan ikhlas sebagai pelayan masyarakat sangatlah kurang, banyak sekarang kaum
teknokrat justru yang menganggap dirinya justru yang harus dilayani, walau
tidak mengatakan langsung namun dalam kenyataannya seperti itu dan ini tidak
bisa dipungkiri. Ditambah sekarang merebaknya virus hypocrites dalam kalangan
pemerintah (contohnya, ketika diambil sumpah untuk jabatan yang diamanahkan
atas nama Tuhannya dengan enaknya dilanggar, seperti korupsi tadi atau
permainan politik yang kotor) dan masih banyak lagi kekurangan dari sisi
pemerintah yang harus diperbaiki dulu untuk mendapatkan kepercayaan sepenuhnya
dari masyarakat.
Dari
segi masyarakat yang tidak puas tadi (gerakan separatis) perlu juga ditekankan,
apapun alasannya langkah yang mereka ambil ini juga tidak bisa dibenarkan.
Karena tidak mungkin ada Negara dalam Negara semua ada pengakuan kedaulatan
baik dari dalam ataupun dunia luar dan itu tidak bisa dibenarkan sama sekali.
Ada solusi yang lebih baik untuk mencapai tujuan yang dianggap baik tersebut
membentuk partai misalnya yang dipercaya masyarakat, hal ini mungkin lebih baik
dan kalau memang merasa benar dan tujuan kelompok sesuai dengan apa yang
diinginkan masyarakat, otomatis masyarakat akan memilih partai atau kelompok
tersebut tanpa harus membuat satu negara dalam negara.
Dan
kemudian isu papua yang mulai panas dibincangkan akhir-akhir ini. OPM menjadi
isu hangat politik Indonesia yang akan saya bahas dalam makalah ini
KAJIAN
PUSTAKA
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papuaatau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya
merupakan negaraPapua Nugini atau East New Guinea. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes
(penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi
oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang
menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Organisasi
Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah organisasi separatisme yang menentang pemerintahan
yang sah dengan gerakan makarnya dan berada di wilayah Papua Barat.
Sebelum era reformasi,
provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini disebut dengan namaIrian Jaya. OPM
ditengarai sering melakukan aksi kekerasan dan melakukan penyerangan bersenjata
terhadap warga sipil termasuk TNI dan Polri di berbagai wilayah Papua untuk
menciptakan ketidakstabilan. Pemerintah menurunkan TNI dan Polri untuk
melakukan penumpasan terhadap gerombolan OPM yang sudah sangat meresahkan
warga. Penyatuan wilayah Irian Jaya (sekarang Papua) kedalam satu bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah sah dan dibenarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Akar permasalahan
Ada dua akar masalah besar di Papua Barat, pertama; Papua Barat
yang dipaksa berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang menyisihkan banyak masalah (berkaitan dengan sejarah dan status politik
bangsa Papua), kedua; kehadiran perusahan Multi-nasional PT Freeport McMoRan
sejak tahun 1967 di Timika, Papua Barat. Masalah kesenjagan social dan
kesejahtraan yang menjadi alasan yang mendasar dalam permaslahan konflik di
Papua. Sumber konflik tersebut masih diperkuat oleh tiga unsur lain yang
sangat menonjol dewasa ini: perebutan kedudukan, mental proyek dan kerusakan
lingkungan.
·
Perebutan kedudukan
Salah satu hal yang cukup
memprihatinkan selama tahun-tahun terakhir ini adalah niat banyak orang untuk
mencari ‘kursi’; peluang untuk itu terbuka lebar dengan adanya pemekaran
wilayah di segala tingkat (kecamatan, kabupaten, malahan provinsi). Apalagi
menjelang musim pemilu seperti kita alami pada saat ini. Memang tidak buruk
juga kalau ada yang mempunyai ambisi dan rasa senang agar dihormati sebagai
‘anggota DPR-D’ atau sejenisnya, namun yang mengganggu banyak masyarakat kecil
ialah bahwa sekali kedudukan diperoleh, kedudukan tersebut kurang diandalkan
untuk melayani kepentingan masyarakat luas. Akhirnya menimbulkan kekecewaan dan
menjadi sumber konflik tersendiri. Apalagi akibatnya yang sangat negatif
terhadap berfungsinya segala macam struktur pemerintahan sehingga
institusi-institusi kelihatan lumpuh begitu saja, dan kepercayaan masyarakat
kepada aparat pemerintahan makin hari makin hilang. Maka, sangat mendesaklah
bila para pemimpin (mereka yang berkedudukan tinggi) mengadakan refeksi diri
secara jujur dan sepantasnya bertobat kalau tidak ingin membawa masyarakat di
Papua menuju tebing jurang yang sangat dalam.
·
Mental proyek
Perkembangan yang
digambarkan secara singkat di atas masih diperkuat dengan suatu “kebudayaan” lain,
yakni: budaya mental proyek. Sering ada kesan bahwa tidak dapat mengharapkan
pelayanan atau kegiatan apa-apa kalau tidak “diproyekkan” dulu. Dalih “tidak
ada uang” sering terdengar, maka orang “lipat tangan” saja dan menunggu, tanpa
mengandalkan kekuatan yang ada pada diri sendiri. Mentalitas ini bukan khas di
kalangan mereka yang berkuasa saja, namun sudah menjadi suatu “penyakit sosial”
di segala lapisan masyarakat. Coba amati saja di sekitar lembaga pemerintahan
dimana banyak warga biasa menenteng map berisi proposal dan masuk dari kantor
ke kantor. Dalam suasana tersebut banyak masyarakat dididik menjadi pengemis
(mengandalkan proposal!), sedangkan mereka yang berkuasa semakin berminat untuk
menjadi pimpinan proyek sambil menikmati hasilnya. Sudah tentu bahwa hal ini
membuka pintu lebar-lebar bagi tumbuhnya ‘budaya korupsi’ tanpa (tahu) rasa
malu lagi, sedangkan banyak warga masyarakat makin kehilangan harga diri serta
percaya diri. Dalam suasana demikian, akhirnya kepentingan pribadi lebih dimenangkan
daripada kepentingan kita bersama; apalagi dengan penerimaan adanya ‘budaya
korupsi’ ini, kita kehilangan suatu pegangan nilai mengenai apa yang benar dan
apa yang tidak benar.
·
Pemeliharaan lingkungan
Dalam
kesadaran masyarakat tradisional lingkungan mengambil tempat yang sangat
menentukan. Tanah dinilai sebagai IBU, sebagai sumber hidup, dan jaminan untuk
masa depan. Kesadaran ini begitu jelas ditunjukkan di masa yang lampau dimana
orang dapat hidup dalam suatu keharmonisan dengan semesta alam, yang dewasa ini
makin ditekan sampai hampir hilang. Daripada dihayati sebagai ‘lingkungan
hidup’ yang vital dan yang perlu dilestarikan demi kehidupan anak cucu, dewasa
ini segala kekayaan alam mulai didekati sebagai sumber keuntungan (unsur
ekonomis melulu), yang dimanfaatkan tanpa batas. Cerita banyak mengenai
hilangnya sumber nafkah bagi masyarakat kampung, karena kekayaan alam
sekitarnya sudah diambil oleh mereka yang “dapat izin dari Jakarta” untuk
mengurasnya secara komersial. Di kota-kota sudah banyak keluhan mengenai
kekurangan air minum karena hutan yang menjadi jaminan untuk kelancaran
persediaan air sudah habis ditebang. Dalam salah satu laporan6 baru-baru
ini dicatat bahwa hutan di Papua mengalami kerusakan yang parah. Laporan ini
menyatakan bahwa setiap bulan Papua kehilangan 600.000 kubik meter kayu karena
penebangan yang tidak sah (berarti 7.2 juta kubik meter per tahun). Mengingat
setiap kubik meter kayu bernilai Rp. 850.000, maka Papua mengalami kerugian Rp.
510.000.000.000 setiap tahun karena perdagangan kayu secara illegal.
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun oleh masyarakat di
wilayah utara Papua, dan penangkapan ikan oleh warga Indonesia maupun Asing
dengan menggunakan ‘pukat harimau’ adalah suatu contoh kerusakan lainnya.
Ditambah lagi dengan usaha yang dijalankan oleh perusahaan seperti Freeport.
Ternyata tidak ada yang menjaga kelestarian lingkungan hidup kita. Dengan sedih
dapat disimpulkan bahwa lingkungan hidup kita makin kurang aman karena prinsip
keuntungan ekonomis diutamakan dari segala nilai lainnya (termasuk diatas
keselamatan jiwa – bdk. apa yang terjadi di wilayah pengoperasian Freeport
bulan Oktober 2003). Apalagi keuntungan untuk siapa? Tidak mengherankan bila
banyak warga mulai pesimis atau makin tergoda untuk mengikuti trend-trend saja
dan bergabung dalam suatu perebutan keuntungan dari kekayaan alam yang
merugikan kehidupan kita bersama.
Campur Tangan asing
Konflik di Papua sangat rentan dengan campur tangan
asing. Konflik di Papua sangat rentan dengan campur tangan asing. Diduga tindak
kekerasan tersebut dilakukan kelompok bersenjata OPM dan simpatisannya. Banyak
pihak yang menegarai ada campur tangan asing yang ikut menciptakan agar konflik
berkepanjangan terjadi di Papua. Penilaian sejumlah pihak terkait konflik di
Papua dapat dibenarkan karena ada indikasi ke arah itu, di antaranya munculnya
kelompok yang sudah berani menggunakan senjata dan terang-terangan menyatakan
merdeka, serta mengibarkan bedara simbol sepratis Papua.
Konflik
sengaja diciptakan dengan memanfaatkan even-even tertentu untuk melawan aparat
keamanan. Bentrok sengaja diciptakan untuk menimbulkan kekacauan dan
pemberitaan luas, untuk menarik simpati internasional. Hal ini merupakan seting
yang diotaki asing yang bermain di Papua. Ketua Umum Forum Komunikasi Putra
Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), Pontjo Sutowo, menyatakan, konflik di
Papua disebabkan provokasi yang berkepentingan dengan SDA di sana. Provokasi
ini dimunculkan pihak-pihak luar yang punya kepentingan dengan sumber daya alam
Papua yang kaya raya tersebut. Menurut dia, kalau tidak punya kekayaan alam,
maka tidak akan ada provokasi di Papua. Lihat saja di negara-negara Afrika yang
miskin atau tidak mempunyai sumber daya alam selama ini mana ada kelihatan
konflik atau memang sengaja dibiarkan saja.
Pontjo
Sutowo lebih jauh mengatakan, dengan kekayaan alam yang dimilikinya, Papua
diincar banyak pihak, terutama negara yang mempunyai kepentingan atau
membutuhkan sumber daya alam. Terkait keinginan sebagian pihak di Papua yang
merasa diperlakukan tidak adil, yang perlu dilakukan melakukan evaluasi
terhadap otonomi daerah yang telah diberikan kepada provinsi tersebut. Kalau
dalam konteks Irian (Papua), kini ada perasaan merasa tidak diperhatikan, ada
keinginan menentukan nasib sendiri. Di negara merdeka seperti Indonesia, hal
itu bukan bikin negara baru, tapi minta otonomi. Kalau sudah diberi otonomi
tetapi masih minta melepaskan diri, itu pasti ada provokasi. Menurut Sutowo,
yang paling penting bagi bangsa Indonesia dalam menyelesaikan persoalan Papua
adalah penyelesaian secara internal. Untuk itu harus buat suatu koridor,
apalagi kita punya pengalaman dengan Provinsi Timtim.
Mengatasi konflik
Memang menangani suatu suasana konflik tidak
mudah, sehingga dituntut suatu seni tersendiri, suatu budaya tersendiri
sedemikian rupa sehingga suatu konflik dapat diatasi dengan baik tanpa menelan
korban atau memakai kekerasan. Dalam kebudayaan feodal segala konflik diatasi
dengan memakai kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang yang menentukan
segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh diganggu-gugat. Dalam suatu dunia
yang demokratis perubahan termasuk mengatasi konflik, menuntut suatu
keterbukaan dari semua pihak yang berkepentingan untuk mencari jalan keluar
tanpa main kuasa. Seni hidup demikian serta suatu adat baru perlu dikembangkan
kalau kita mau hidup dalam damai dewasa ini. Empat unsur yang berperan besar dalam seni
mengatasi konflik:
1.
Memahami inti konflik, yakni
dimana letaknya sumber konflik atau kepentingan mana yang diperjuangkan dan
oleh siapa); merupakan unsur pengetahuan
(kebenaran).
2.
Menghayati nilai-nilai hidup
bersama; mengakui pegangan-pegangan nilai yang menjamin kehidupan bersama
seperti hukum serta penegakannya, hak-hak dasar, pengakuan martabat setiap
orang, dsbnya; sebagai unsur kebersamaan
nilai (struktural).
3.
Kesadaran dan kemauan untuk
tunduk pada nilai-nilai yang diakui bersama, sikap pertobatan kalau perlu;
sebagai unsur sikap (pribadi maupun
kelompok).
4.
melibatkan segala pihak yang
berkepentingan dalam penyelesaian suatu konflik sambil memberdayakan
masing-masing pihak supaya mampu mengambil peranan seperlunya; unsur partisipasi (tanggungjawab bersama).
Sambil memperhatikan keempat unsur tadi,
disiapkan juga jalan menuju suatu rekonsiliasi, menuju suatu dunia yang lebih
adil dan penuh damai. Tujuan luhur itu tidak gampang tercapai dan akan menuntut
suatu sikap (pribadi maupun kolektif) yang jujur, ihklas hati dan kesediaan
untuk berupaya tanpa mengenal lelah.
Membangun kebudayaan atau seni demikian adalah suatu harapan dari
pimpinan Gereja dengan mengajak umatnya untuk berefleksi atas dua unsur kunci
yang wujudnya dapat membantu mengatasi suatu konflik, yakni: perdamaian dan rekonsiliasi.
Menangani
konflik dapat juga disoroti dari segi teknis saja. Ada segala macam teknik
untuk mempertemukan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ada teknik atau
petunjuk bagaimana mesti mengembangkan sikap mendengar, bagaimana membatasi
ledakan emosi, memberikan peluang secara merata kepada setiap pihak untuk
mengungkapkan diri, bagaimana membuat suatu uraian yang objektif, dst. Dalam
kerangka refleksi ini kami tidak terlalu memberikan perhatian pada segi teknis
tersebut. Titik perhatian kami ada pada aspek penghayatan kesamaan nilai,
karena kami yakin bahwa kesamaan itu akhirnya memberikan dasar kuat untuk
mengatasi suatu konflik, dan menuju pemulihan kembali hubungan antar orang yang
berkonflik. Penghayatan kesamaan nilai terungkap dalam suatu sikap hidup;
nilai-nilai yang membudaya dalam diri kita akan menentukan sikap dan seni hidup
kita. Maka dalam kerangka refleksi ini kami coba menggambarkan bagaimana
membangun “budaya damai” dan “budaya rekonsiliasi” sebagai dasar mengatasi suasana
konflik.
Kesimpulan
Papua dikenal sebagai daerah rawan konflik.
Menanggapi kenyataan demikian banyak pihak menggemakan semboyan “Papua Zona
Damai” supaya segala permasalahan tidak diselesaikan dengan cara kekerasan,
melainkan melalui pendekatan dialog dan penghargaan satu sama yang lain.
Semboyan “Papua Zona Damai atau Papua Tanah Damai” didengungkan dimana-mana dan
disambut dengan hangat oleh segala lapisan masyarakat. Sayangnya bahwa semboyan
“Papua Tanah Damai” kadang – kadang dipakai sebagai slogan sehingga maknanya
menjadi kabur. Akibatnya a.l. bahwa masyarakat yang diharapkan turut menjaga
perdamaian di Papua sering tidak tahu dapat berbuat apa demi terwujudnya damai
yang digemakan. Maka muncul bahaya bahwa perlahan – lahan maksud utama dari
semboyan “Papua Tanah Damai” terkikis habis dan hilang maknanya.
Sambil menyadari adanya perkembangan –
perkembangan yang kurang mendukung terwujudnya suasana damai di Papua, lembaga
– lembaga yang peduli dengan perdamaian di Papua tidak ingin kehilangan gema
semboyan Papua Tanah Damai. Karena dengan gema Papua Tanah Damai setidaknya
dapat menggugah masyarakat Papua agar turut berpikir – berefleksi tentang
perdamaian sambil terus mengembangkan niatnya untuk menyumbangkan dengan lebih
berarti bagi perdamaian di Papua. Sebab tanpa partisipasi dari semua
masyarakat, perdamaian sulit terwujud.
Saran
Renkonsiliasi
yang matang tentang Papua segara dan ahrus dilaksanakan sedini mungkin, cari
jalan keluar yang tetap sebelum bumi Papua keluar dari tanah ibu pertiwi.
Jadikan Papua milik Indonesia sampai kapanpun. Papua tetap Indonesia.
Setelah penulis
membuat makalah ini, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa ada berbagai
dampak yang dapat dialami oleh masyarakat akibat kemiskinan ini yaitu;
Memang kita akui
masalah kemiskinan di Indonesia ini sampai sekarang belumlah tuntas. Banyak
sekali hal-hal yang menyebabkan masalah kemiskinan ini belum tuntas. Namun
dalam mengentaskan masalah kemiskinan ini perlu adanya campur tangan pemerintah
agar dapat segera terselesaikan.
Saran yang diambil oleh penulis
bagi para pembaca adalah:
- tingkatkanlah
kualitas anda melalui sekolah ke jenjang yang lebih tinggi
- berjuanglah
dengan keras jangan sampai putus asa
- bantulah
sesamamu yang tidak mampu
saya merasa sangat terbantu dengan tulisan anda
BalasHapusizin ambil tulisannya
BalasHapus