my home

my home
Tidore Island

Sabtu, 10 Maret 2012

Menyikapi Separatisme di Papua



Separatisme adalah suatu bentuk keinginan memisahkan diri dari suatu entitas yang sifatnya lebih besar yang memiliki legitimasi kekuasaan. Bentuknya bisa jadi negara/pemerintahan. Nah, separatisme dari sudut pandang konflik sosial adalah satu bentuk konflik. Jadi penyebabnya timbulnya Separatisme adalah sebagian dari penyebab timbulnya konflik sosial secara umum. Jika kita coba klasifikasi, hal-hal dibawah ini bisa jadi merupakan akar terjadinya separatime :
1.      Penguasaan Sumber Daya Sumber daya di bisa berarti SD Alam, Wilayah. Beberapa separatisme yang terjadi di Indonesia terjadi diawali dengan ketidakpuasan suatu kelompok terhadap pengelolaan SD yang ada di wilayahnya oleh penguasa yang ada. 
2.      Perbedaan cara pandang dalam pengelolaan kekuasaan
Ada kelompok yang cenderung ingin memisahkan diri karena ingin membentuk pemerintahan dengan sistem sendiri (bentuk maupun idiologinya. 
3.      Adanya kesadaran yang bersifat etnis/ldiologis sebagai pemilik sah suatu wilayah. Contohnya suatu etnis asli di suatu daerah, yang kemudian merasa bahwa dirinya berhak berdiri sebagai sebuah bangsa merdeka bebas dari Pemerintah atau bergabung ke negara lain karena kedekatan etnis maupun religi. 
suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). Istilah ini biasanya tidak diterima para kelompok separatis sendiri karena mereka menganggapnya kasar, dan memilih istilah yang lebih netral seperti determinasi diri.
Pada masa kejayaannya, nasionalisme tampak begitu kuat mengakar dalam berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Ini dapat dengan mudah terlihat dalam berbagai ungkapan ‘bangsa-ku, negeri-ku, yang ku cinta’ atau ‘demi kehidupan berbangsa dan bernegara’, sebagaimana muncul hampir dalam setiap percakapan sehari-hari hingga dialog resmi kenegaraan. Memaknai Indonesia, dalam konteks nasionalisme, merupakan sebuah kesatuan antara bangsa (nation) sekaligus negara (state) (Dhakidhae, 2001: v). Di dalamnya terdapat sebuah solidaritas negara-bangsa (nation-state) dari susunan beraneka solidaritas suku-bangsa (ethnic). Sebuah misteri besar di balik bersatunya beraneka entitas kultural yang sangat heterogen dalam sebuah payung yang bernama negara-bangsa Indonesia, menjadi hal yang biasa saja dalam kehidupan nasional. Slogan “bhineka tunggal ika”, tampaknya menjadi adagium pamungkas yang mampu mereduksi semua perbedaan tersebut.
Namun, munculnya berbagai konflik sosial pada era 1990-an, tampaknya menjadi sebuah titik balik perjalanan nasionalisme di Indonesia. Setelah berjaya hampir setengah abad di bumi nusantara pasca kemerdekaannya, nasionalisme Indonesia seakan-akan runtuh begitu saja tanpa sisa. Rasa kebanggaan sebagai sebuah kesatuan bangsa Indonesia tampaknya menghilang, tergerus oleh gelombang semangat kesukuan dan kedaerahan yang tengah menggelora di sejumlah wilayah. Ikatan kebangsaan Indonesia menjadi tidak begitu berarti, dan tenggelam oleh sentimen etnis yang sangat kental. Munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama, dan ras (SARA) di Kalimantan, Maluku, dan Poso, hingga gerakan pemberontakan lokal radikal di Timor Timur, Aceh, Maluku Selatan, dan Papua tampaknya menjadi bukti nyata rasa kebangsaan yang memudar dan sekaligus sebagai ancaman terhadap eksistensi Indonesia sebagai kesatuan entitas dalam sebuah negara-bangsa. Wacana separatisme kultural yang anti-nasionalisme Indonesia menjadi fenomena sekaligus pertanyaan yang terus membayang. Mungkinkah, nasionalisme Indonesia telah berakhir?
Contoh gerakan separatisme di Indonesia modern adalah
·         Republik Maluku Selatan
·         Gerakan Aceh Merdeka
·         Organisasi Papua Merdeka
Sifat dan sikap ini seperti yang disebutkan diatas muncul akibat perbedaan visi dan misi serta rasa ketidakpuasan terhadap program dan apa yang menjadi tujuan pemerintah yang sah, dan separatis ini biasanya sudah menyentuh ke Ranah Politik. Ada beberapa contoh gerakan yang disebut oleh Pemerintah Indonesia sebagai gerakan sparatis yaitu Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kedua gerakan ini seperti tumbuh subur dan merajalela yang mengesankan kurangnya perhatian pemerintah untuk menangani secara serius. Gerakan separatisme mereka ditunjukkan salah satunya dengan cara tarian cakalele dan mengibarkan bendera RMS, dan hal ini disaksikan sendiri oleh presiden RI Bpk Susilo Bambang Yudhoyono (mungkin bisa dikatakan kurang siapnya antisipasi oleh aparat dan panitia) yang sedang menghadiri perayaan Harganas, pada tanggal 29 Juni 2007. Kemudian disusul dengan pengibaran bendera Bintang Kejora yang dilakukan oleh para narapidana politik Organisasi Papua Merdeka (OPM) di penjara Abepura dalam perayaan hari ulang tahun OPM tanggal 1 Juli.
Dilihat dari segi alasan umum pasti adalah rasa ketidakpuasan dan rasa kecemburuan sosial antar daerah (disini dalam konteks kesenjangan antara kemajuan dan kesejahteraan pusat pemerintahan dengan daerah lainnya). Namun kalau dilihat alasan masing-masing gerakan separatisme yang ada mempunyai alasan tertentu dan visi tertentu sesuai dengan apa yang selama ini mereka perjuangkan. Rasa ketidakpuasan ini wajar dengan melihat lebih kedalam performansi pemerintah selama ini yang membuahkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparaturnya.
Yang perlu diingat sistem dalam bernegara tidaklah salah, justru yang salah adalah moral dan mental aparaturnya yang rusak, walau tidak semuanya seperti itu namun lebih banyak yang seperti itu daripada yang tidak. Hal ini memang tidak mudah untuk diselesaikan dalam waktu singkat karena menyangkut moral sumber daya manusia itu sendiri. Dari sisi pemerintah sendiri solusinya bisa dengan mencari benang merah akar permasalahan timbulnya gerakan ini, untuk hal ini dirasa mungkin sudah jelas dari sisi pemerintah adalah masalah Korupsi yang merajalela adalah salah satu faktor utama kenapa negara tidak bisa maju dan ini kembali ke SDM atau aparatnya lagi.
Dan masyarakat menilai pemerintah tidak tegas atau masih tebang pilih dalam memberantas korupsi, masalah lain adalah tingkat kesadaran aparat untuk tulus dan ikhlas sebagai pelayan masyarakat sangatlah kurang, banyak sekarang kaum teknokrat justru yang menganggap dirinya justru yang harus dilayani, walau tidak mengatakan langsung namun dalam kenyataannya seperti itu dan ini tidak bisa dipungkiri. Ditambah sekarang merebaknya virus hypocrites dalam kalangan pemerintah (contohnya, ketika diambil sumpah untuk jabatan yang diamanahkan atas nama Tuhannya dengan enaknya dilanggar, seperti korupsi tadi atau permainan politik yang kotor) dan masih banyak lagi kekurangan dari sisi pemerintah yang harus diperbaiki dulu untuk mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari masyarakat.
Dari segi masyarakat yang tidak puas tadi (gerakan separatis) perlu juga ditekankan, apapun alasannya langkah yang mereka ambil ini juga tidak bisa dibenarkan. Karena tidak mungkin ada Negara dalam Negara semua ada pengakuan kedaulatan baik dari dalam ataupun dunia luar dan itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ada solusi yang lebih baik untuk mencapai tujuan yang dianggap baik tersebut membentuk partai misalnya yang dipercaya masyarakat, hal ini mungkin lebih baik dan kalau memang merasa benar dan tujuan kelompok sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat, otomatis masyarakat akan memilih partai atau kelompok tersebut tanpa harus membuat satu negara dalam negara.
Dan kemudian isu papua yang mulai panas dibincangkan akhir-akhir ini. OPM menjadi isu hangat politik Indonesia yang akan saya bahas dalam makalah ini

KAJIAN PUSTAKA

             Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papuaatau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negaraPapua Nugini atau East New Guinea. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah organisasi separatisme yang menentang pemerintahan yang sah dengan gerakan makarnya dan berada di wilayah Papua Barat. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini disebut dengan namaIrian Jaya. OPM ditengarai sering melakukan aksi kekerasan dan melakukan penyerangan bersenjata terhadap warga sipil termasuk TNI dan Polri di berbagai wilayah Papua untuk menciptakan ketidakstabilan. Pemerintah menurunkan TNI dan Polri untuk melakukan penumpasan terhadap gerombolan OPM yang sudah sangat meresahkan warga. Penyatuan wilayah Irian Jaya (sekarang Papua) kedalam satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sah dan dibenarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Akar permasalahan
Ada dua akar masalah besar di Papua Barat, pertama; Papua Barat yang dipaksa berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menyisihkan banyak masalah (berkaitan dengan sejarah dan status politik bangsa Papua), kedua; kehadiran perusahan Multi-nasional PT Freeport McMoRan sejak tahun 1967 di Timika, Papua Barat. Masalah kesenjagan social dan kesejahtraan yang menjadi alasan yang mendasar dalam permaslahan konflik di Papua. Sumber konflik tersebut masih diperkuat oleh tiga unsur lain yang sangat menonjol dewasa ini: perebutan kedudukan, mental proyek dan kerusakan lingkungan.
·         Perebutan kedudukan
           Salah satu hal yang cukup memprihatinkan selama tahun-tahun terakhir ini adalah niat banyak orang untuk mencari ‘kursi’; peluang untuk itu terbuka lebar dengan adanya pemekaran wilayah di segala tingkat (kecamatan, kabupaten, malahan provinsi). Apalagi menjelang musim pemilu seperti kita alami pada saat ini. Memang tidak buruk juga kalau ada yang mempunyai ambisi dan rasa senang agar dihormati sebagai ‘anggota DPR-D’ atau sejenisnya, namun yang mengganggu banyak masyarakat kecil ialah bahwa sekali kedudukan diperoleh, kedudukan tersebut kurang diandalkan untuk melayani kepentingan masyarakat luas. Akhirnya menimbulkan kekecewaan dan menjadi sumber konflik tersendiri. Apalagi akibatnya yang sangat negatif terhadap berfungsinya segala macam struktur pemerintahan sehingga institusi-institusi kelihatan lumpuh begitu saja, dan kepercayaan masyarakat kepada aparat pemerintahan makin hari makin hilang. Maka, sangat mendesaklah bila para pemimpin (mereka yang berkedudukan tinggi) mengadakan refeksi diri secara jujur dan sepantasnya bertobat kalau tidak ingin membawa masyarakat di Papua menuju tebing jurang yang sangat dalam.
·         Mental proyek
Perkembangan yang digambarkan secara singkat di atas masih diperkuat dengan suatu “kebudayaan” lain, yakni: budaya mental proyek. Sering ada kesan bahwa tidak dapat mengharapkan pelayanan atau kegiatan apa-apa kalau tidak “diproyekkan” dulu. Dalih “tidak ada uang” sering terdengar, maka orang “lipat tangan” saja dan menunggu, tanpa mengandalkan kekuatan yang ada pada diri sendiri. Mentalitas ini bukan khas di kalangan mereka yang berkuasa saja, namun sudah menjadi suatu “penyakit sosial” di segala lapisan masyarakat. Coba amati saja di sekitar lembaga pemerintahan dimana banyak warga biasa menenteng map berisi proposal dan masuk dari kantor ke kantor. Dalam suasana tersebut banyak masyarakat dididik menjadi pengemis (mengandalkan proposal!), sedangkan mereka yang berkuasa semakin berminat untuk menjadi pimpinan proyek sambil menikmati hasilnya. Sudah tentu bahwa hal ini membuka pintu lebar-lebar bagi tumbuhnya ‘budaya korupsi’ tanpa (tahu) rasa malu lagi, sedangkan banyak warga masyarakat makin kehilangan harga diri serta percaya diri. Dalam suasana demikian, akhirnya kepentingan pribadi lebih dimenangkan daripada kepentingan kita bersama; apalagi dengan penerimaan adanya ‘budaya korupsi’ ini, kita kehilangan suatu pegangan nilai mengenai apa yang benar dan apa yang tidak benar.
·         Pemeliharaan lingkungan
Dalam kesadaran masyarakat tradisional lingkungan mengambil tempat yang sangat menentukan. Tanah dinilai sebagai IBU, sebagai sumber hidup, dan jaminan untuk masa depan. Kesadaran ini begitu jelas ditunjukkan di masa yang lampau dimana orang dapat hidup dalam suatu keharmonisan dengan semesta alam, yang dewasa ini makin ditekan sampai hampir hilang. Daripada dihayati sebagai ‘lingkungan hidup’ yang vital dan yang perlu dilestarikan demi kehidupan anak cucu, dewasa ini segala kekayaan alam mulai didekati sebagai sumber keuntungan (unsur ekonomis melulu), yang dimanfaatkan tanpa batas. Cerita banyak mengenai hilangnya sumber nafkah bagi masyarakat kampung, karena kekayaan alam sekitarnya sudah diambil oleh mereka yang “dapat izin dari Jakarta” untuk mengurasnya secara komersial. Di kota-kota sudah banyak keluhan mengenai kekurangan air minum karena hutan yang menjadi jaminan untuk kelancaran persediaan air sudah habis ditebang. Dalam salah satu laporan6 baru-baru ini dicatat bahwa hutan di Papua mengalami kerusakan yang parah. Laporan ini menyatakan bahwa setiap bulan Papua kehilangan 600.000 kubik meter kayu karena penebangan yang tidak sah (berarti 7.2 juta kubik meter per tahun). Mengingat setiap kubik meter kayu bernilai Rp. 850.000, maka Papua mengalami kerugian Rp. 510.000.000.000 setiap tahun karena perdagangan kayu secara illegal. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun oleh masyarakat di wilayah utara Papua, dan penangkapan ikan oleh warga Indonesia maupun Asing dengan menggunakan ‘pukat harimau’ adalah suatu contoh kerusakan lainnya. Ditambah lagi dengan usaha yang dijalankan oleh perusahaan seperti Freeport. Ternyata tidak ada yang menjaga kelestarian lingkungan hidup kita. Dengan sedih dapat disimpulkan bahwa lingkungan hidup kita makin kurang aman karena prinsip keuntungan ekonomis diutamakan dari segala nilai lainnya (termasuk diatas keselamatan jiwa – bdk. apa yang terjadi di wilayah pengoperasian Freeport bulan Oktober 2003). Apalagi keuntungan untuk siapa? Tidak mengherankan bila banyak warga mulai pesimis atau makin tergoda untuk mengikuti trend-trend saja dan bergabung dalam suatu perebutan keuntungan dari kekayaan alam yang merugikan kehidupan kita bersama.

Campur Tangan asing
            Konflik di Papua sangat rentan dengan campur tangan asing. Konflik di Papua sangat rentan dengan campur tangan asing. Diduga tindak kekerasan tersebut dilakukan kelompok bersenjata OPM dan simpatisannya. Banyak pihak yang menegarai ada campur tangan asing yang ikut menciptakan agar konflik berkepanjangan terjadi di Papua. Penilaian sejumlah pihak terkait konflik di Papua dapat dibenarkan karena ada indikasi ke arah itu, di antaranya munculnya kelompok yang sudah berani menggunakan senjata dan terang-terangan menyatakan merdeka, serta mengibarkan bedara simbol sepratis Papua.
Konflik sengaja diciptakan dengan memanfaatkan even-even tertentu untuk melawan aparat keamanan. Bentrok sengaja diciptakan untuk menimbulkan kekacauan dan pemberitaan luas, untuk menarik simpati internasional. Hal ini merupakan seting yang diotaki asing yang bermain di Papua. Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), Pontjo Sutowo, menyatakan, konflik di Papua disebabkan provokasi yang berkepentingan dengan SDA di sana. Provokasi ini dimunculkan pihak-pihak luar yang punya kepentingan dengan sumber daya alam Papua yang kaya raya tersebut. Menurut dia, kalau tidak punya kekayaan alam, maka tidak akan ada provokasi di Papua. Lihat saja di negara-negara Afrika yang miskin atau tidak mempunyai sumber daya alam selama ini mana ada kelihatan konflik atau memang sengaja dibiarkan saja.
Pontjo Sutowo lebih jauh mengatakan, dengan kekayaan alam yang dimilikinya, Papua diincar banyak pihak, terutama negara yang mempunyai kepentingan atau membutuhkan sumber daya alam. Terkait keinginan sebagian pihak di Papua yang merasa diperlakukan tidak adil, yang perlu dilakukan melakukan evaluasi terhadap otonomi daerah yang telah diberikan kepada provinsi tersebut. Kalau dalam konteks Irian (Papua), kini ada perasaan merasa tidak diperhatikan, ada keinginan menentukan nasib sendiri. Di negara merdeka seperti Indonesia, hal itu bukan bikin negara baru, tapi minta otonomi. Kalau sudah diberi otonomi tetapi masih minta melepaskan diri, itu pasti ada provokasi. Menurut Sutowo, yang paling penting bagi bangsa Indonesia dalam menyelesaikan persoalan Papua adalah penyelesaian secara internal. Untuk itu harus buat suatu koridor, apalagi kita punya pengalaman dengan Provinsi Timtim.
Mengatasi konflik
Memang menangani suatu suasana konflik tidak mudah, sehingga dituntut suatu seni tersendiri, suatu budaya tersendiri sedemikian rupa sehingga suatu konflik dapat diatasi dengan baik tanpa menelan korban atau memakai kekerasan. Dalam kebudayaan feodal segala konflik diatasi dengan memakai kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang yang menentukan segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh diganggu-gugat. Dalam suatu dunia yang demokratis perubahan termasuk mengatasi konflik, menuntut suatu keterbukaan dari semua pihak yang berkepentingan untuk mencari jalan keluar tanpa main kuasa. Seni hidup demikian serta suatu adat baru perlu dikembangkan kalau kita mau hidup dalam damai dewasa ini.  Empat unsur yang berperan besar dalam seni mengatasi konflik:
1.      Memahami inti konflik, yakni dimana letaknya sumber konflik atau kepentingan mana yang diperjuangkan dan oleh siapa); merupakan unsur pengetahuan (kebenaran).
2.      Menghayati nilai-nilai hidup bersama; mengakui pegangan-pegangan nilai yang menjamin kehidupan bersama seperti hukum serta penegakannya, hak-hak dasar, pengakuan martabat setiap orang, dsbnya; sebagai unsur kebersamaan nilai (struktural).
3.      Kesadaran dan kemauan untuk tunduk pada nilai-nilai yang diakui bersama, sikap pertobatan kalau perlu; sebagai unsur sikap (pribadi maupun kelompok).
4.      melibatkan segala pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian suatu konflik sambil memberdayakan masing-masing pihak supaya mampu mengambil peranan seperlunya; unsur partisipasi (tanggungjawab bersama).

Sambil memperhatikan keempat unsur tadi, disiapkan juga jalan menuju suatu rekonsiliasi, menuju suatu dunia yang lebih adil dan penuh damai. Tujuan luhur itu tidak gampang tercapai dan akan menuntut suatu sikap (pribadi maupun kolektif) yang jujur, ihklas hati dan kesediaan untuk berupaya tanpa mengenal lelah.
Membangun kebudayaan atau seni demikian adalah suatu harapan dari pimpinan Gereja dengan mengajak umatnya untuk berefleksi atas dua unsur kunci yang wujudnya dapat membantu mengatasi suatu konflik, yakni: perdamaian dan rekonsiliasi.
Menangani konflik dapat juga disoroti dari segi teknis saja. Ada segala macam teknik untuk mempertemukan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Ada teknik atau petunjuk bagaimana mesti mengembangkan sikap mendengar, bagaimana membatasi ledakan emosi, memberikan peluang secara merata kepada setiap pihak untuk mengungkapkan diri, bagaimana membuat suatu uraian yang objektif, dst. Dalam kerangka refleksi ini kami tidak terlalu memberikan perhatian pada segi teknis tersebut. Titik perhatian kami ada pada aspek penghayatan kesamaan nilai, karena kami yakin bahwa kesamaan itu akhirnya memberikan dasar kuat untuk mengatasi suatu konflik, dan menuju pemulihan kembali hubungan antar orang yang berkonflik. Penghayatan kesamaan nilai terungkap dalam suatu sikap hidup; nilai-nilai yang membudaya dalam diri kita akan menentukan sikap dan seni hidup kita. Maka dalam kerangka refleksi ini kami coba menggambarkan bagaimana membangun “budaya damai” dan “budaya rekonsiliasi” sebagai dasar mengatasi suasana konflik.

Kesimpulan
Papua dikenal sebagai daerah rawan konflik. Menanggapi kenyataan demikian banyak pihak menggemakan semboyan “Papua Zona Damai” supaya segala permasalahan tidak diselesaikan dengan cara kekerasan, melainkan melalui pendekatan dialog dan penghargaan satu sama yang lain. Semboyan “Papua Zona Damai atau Papua Tanah Damai” didengungkan dimana-mana dan disambut dengan hangat oleh segala lapisan masyarakat. Sayangnya bahwa semboyan “Papua Tanah Damai” kadang – kadang dipakai sebagai slogan sehingga maknanya menjadi kabur. Akibatnya a.l. bahwa masyarakat yang diharapkan turut menjaga perdamaian di Papua sering tidak tahu dapat berbuat apa demi terwujudnya damai yang digemakan. Maka muncul bahaya bahwa perlahan – lahan maksud utama dari semboyan “Papua Tanah Damai” terkikis habis dan hilang maknanya.
Sambil menyadari adanya perkembangan – perkembangan yang kurang mendukung terwujudnya suasana damai di Papua, lembaga – lembaga yang peduli dengan perdamaian di Papua tidak ingin kehilangan gema semboyan Papua Tanah Damai. Karena dengan gema Papua Tanah Damai setidaknya dapat menggugah masyarakat Papua agar turut berpikir – berefleksi tentang perdamaian sambil terus mengembangkan niatnya untuk menyumbangkan dengan lebih berarti bagi perdamaian di Papua. Sebab tanpa partisipasi dari semua masyarakat, perdamaian sulit terwujud.
Saran
            Renkonsiliasi yang matang tentang Papua segara dan ahrus dilaksanakan sedini mungkin, cari jalan keluar yang tetap sebelum bumi Papua keluar dari tanah ibu pertiwi. Jadikan Papua milik Indonesia sampai kapanpun. Papua tetap Indonesia.
Setelah penulis membuat makalah ini, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa ada berbagai dampak yang dapat dialami oleh masyarakat akibat kemiskinan ini yaitu;
Memang kita akui masalah kemiskinan di Indonesia ini sampai sekarang belumlah tuntas. Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan masalah kemiskinan ini belum tuntas. Namun dalam mengentaskan masalah kemiskinan ini perlu adanya campur tangan pemerintah agar dapat segera terselesaikan.

Saran yang diambil oleh penulis bagi para pembaca adalah:
  • tingkatkanlah kualitas anda melalui sekolah ke jenjang yang lebih tinggi
  • berjuanglah dengan keras jangan sampai putus asa
  • bantulah sesamamu yang tidak mampu


2 komentar: